Suatu siang, seorang rekan di kantor tempat saya bekerja lagi berulang tahun. Menjadi hukum tidak tertulis bahwa yang berulang tahun wajib mentraktir teman satu ruangan untuk makan siang bersama. Saat itu pilihan dari yang punya hajat adalah sebuah restoran Manado di kawasan Jalan Blora, Jakarta Pusat.
Setelah hidangan yang dipesan tersaji di meja makan, dan saya sudah tidak sabar untuk menyantapnya, tiba-tiba ada suara seorang teman: "Eh, tunggu dulu , kita harus ambil foto dulu buat di-posting di grup WA, biar teman yang gak masuk panas hatinya", celutuk Elly, yang paling crewet di antara kami yang ikut makan.
Lalu Elly memberi kode minta tolong ke seorang pelayan restoran sambil menyerahkan hp-nya. Maksudnya agar si pelayan mengambil foto kami bersama melalui kamera hp. Kalau salah satu di antara kami yang menjepret, tentu anggota yang masuk foto tidak lengkap. Kalau pakai metode selfie, ada keterbatasan yang membuat hasilnya kurang maksimal.
Si pelayan tidak terlihat kaget, karena kini rata-rata setiap orang punya hp yang sekaligus kamera. Begitu si pelayan bilang aba-aba satu, dua, ti....ga, kami langsung pasang senyum terindah. Setelah dua kali jepretan, hp kembali diserahkan ke tangan Elly.
Saya yang memang lapar langsung makan. Tapi Elly bersungut-sungut mengomentari hasil jepretan si pelayan. Ternyata fotonya terlihat buram dan wajah masing-masing kami cenderung gelap,
Ya sudahlah, mau diapain lagi. Diulang lagi pun hasilnya menurut saya akan tetap jelek, kalau yang menjepret tetap pelayan yang tadi. Setiap orang bisa mengambill foto, tapi tidak berarti setiap orang mampu menghasilkan foto yang enak dipandang.
Di lain pihak kebutuhan untuk berfoto ria di era semaraknya media sosial, tidak lagi sebatas foto di tempat wisata atau acara khusus seperti pernikahan dan wisuda saja. Hanya sekadar makan siang biasa, baik foto orang yang lagi makan, foto makanannya saja, atau sekumpulan orang di depan restoran dekat papan namanya, sudah dianggap layak untuk dipamerkan.
Bagi pengusaha restoran, semakin banyak foto pengunjung restorannya yang tersebar di media sosial, semakin banyak ia menikmati promosi gratis. Nah, bagi yang paham hal ini, pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tak ada salahnya mengajarkan beberapa pelayannya tentang teknik fotografi yang baik.
Rata-rata restoran yang baru didirikan beberapa tahun terakhir dengan konsep yang unik, sangat menyadari arti pentingnya fotografi. Bagi pelanggan, kebutuhan berfoto sama pentingnya dengan kebutuhan makan itu sendiri. Berdoa sebelum makan boleh saja lupa, tapi tidak untuk berfoto. Maka saat dibangun, restoran tersebut sudah punya beberapa sudut atau tempat yang dinilai bagus untuk berfoto dengan latar belakang yang ada tulisan nama restorannya.
Kalaupun pengunjung ingin berfoto di meja makan, penataan semua meja pun dibuat rapi dan tetap ada nomor meja yang bertuliskan nama restorannya. Dan yang terpenting, ada beberapa pelayan yang sekaligus punya job tambahan untuk membantu pengunjung berfoto yang telah dibekali ilmu fotografi. Bila ada pengunjung yang dari gerak-geriknya terlihat ingin berfoto, fotografer restoran langsung proaktif menawarkan diri.
Jadi, bagi pelaku bisnis, termasuk bisnis makanan dan restoran, saat ini diperlukan kecerdasan memanfaatkan setiap peluang dalam menggenjot jumlah pelanggan sekaligus meningkatkan omzet penjualan. Beriklan secara langsung, di samping mahal, malah cenderung tidak dilirik calon konsumen, saking banyaknya iklan sejenis. Tapi kalau yang menginformasikan adalah para pelanggan sendiri dari update status-nya, ini semacam testimoni yang dahsyat dampaknya.