Bagi yang mengamati perkembangan harga saham dari berbagai perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia, tentu mengetahui bahwa saham BBRI (kode untuk Bank Rakyat Indonesia) adalah salah satu saham unggulan atau blue chip menurut istilah di kalangan investor.
Makanya harga saham BBRI telah mengalami kenaikan puluhan kali lipat. Saat awal go public, 10 November 2003, selembar saham BBRI di hargai Rp 875. Sekarang harganya di kisaran Rp 12.000, itupun setelah empat tahun lalu dilakukan stock split dengan memecah 1 lembar saham lama menjadi 2 lembar saham baru. Artinya harga sekarang bila ingin dibandingkan harga di awal go public adalah Rp 24.000 berbanding Rp 875. Kenaikan yang fantastis dalam masa 13 tahun.
Nah, membahas keberhasilan BRI saat go public tentu tidak terlepas dari sosok kepemimpinan seorang Rudjito, yang menakhodai bank yang identik dengan pengembangan usaha mikro tersebut pada periode 2000-2005. Di tangan beliaulah bersama pihak lain yang membantu, BRI dinilai layak masuk bursa, karena telah memenuhi sejumlah persyaratan yang tidak mudah.
Saya baru saja menamatkan sebuah buku yang berjudul "Be An Optimist! Banyak Bekerja, Banyak Bicara, Banyak Hasilnya. Lessons Learned and Life Time Gift from Professional Banker, DR. Rudjito". Buku yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo (Kelompok Kompas Gramedia), Mei 2016, ini memaparkan kiat-kiat Rudjito dalam memimpin BRI, yang intinya dengan banyak bekerja, banyak berbicara, dan banyak hasilnya.
Sebetulnya kalau banyak bekerja dan banyak hasilnya, sudah umum diketahui. Tapi Rudjito dengan sengaja menambah penekanan pada banyak berbicara, karena orang-orang BRI di mata beliau terlalu low profile, kurang percaya diri saat berhadapan dengan bankir dari bank lain. Media masa pun relatif jarang memberitakan sepak terjang BRI. Nah, kultur itu yang dirubah oleh Rudjito. Bagaimana orang lain bisa mengenal prestasi suatu institusi bila pejabat dan karyawannya tidak bersuara dan mengabaikan peran media masa.
Dalam mengelaborasi banyak berbicara ini, Rudjito mengisahkan kiatnya dalam memperlihatkan good and positive hello effect, mencanangkan keterbukaan komunikasi, mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi, menjalin hubungan dengan media masa, dan tiada henti berbicara khususnya tentang usaha miko dan kecil yang menjadi fokus bisnis BRI.
Memang BRI baru memperoleh predikat sebagai bank peraih laba tertinggi di tanah air sejak sepuluh tahun terakhir, setelah era Rudjito. Tapi tidak dapat dipungkiri Rudjito meletakkan fondasi yang kokoh sehingga pelanjutnnya yakni Sofyan Basir (2005-2014) dan Asmawi Syam (2014- sekarang) bisa meneruskan program yang dirintis Rudjito, seperti memperkuat faktor sumber daya manusia dan kemampuan teknologi, serta menjalin hubungan baik dengan media massa.
Rudjito pun dengan rendah hati mengakui ia juga melanjutkan arah bisnis yang sudah dimulai sejak BRI dipimpin Kamardy Arif (1983-1992) dalam hal merubah visi bisnis dan merubah budaya kerja. Dulu BRI bergerak memberikan pinjaman pada usaha kecil dan sektor pertanian di pedesaan karena ditugasi pemerintah, tapi akhirnya berhasil dirubah menjadi pendekatan bisnis sebagai program yang mendatangkan laba bagi BRI. Lalu para karyawan yang tadinya bermental seperti pegawai negeri saat itu (kurang punya semangat melayani) pelan-pelan dirubah menjadi apa yang tertulis dalam slogannya 'melayani dengan setulus hati'.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa salah satu kunci sukses BRI adalah adanya kesinambungan program antar pimpinan puncak dari periode sebelumnya ke periode berikutnya. Tidak terdengar suara pemimpin yang sekarang menyalahkan strategi pemimpin yang digantinya. Sampai sekarang pun, penghormatan kepada mantan pemimpin terwujud antara lain berupa relatif seringnya ada forum pertemuan, paling tidak di momen halal bi halal dan ulang tahun perusahaan, antar mantan pejabat BRI.
Namun tentu saja dalam pertemuan antar generasi pemimpin BRI tersebut Rudjito tidak lagi hadir, setelah pada tanggal 24 September 2015 yang lalu, beliau berpulang ke rahmatullah dengan meninggalkan banyak jejak keberhasilan. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini meninggal dalam usia 69 tahun. Terbitnya buku di atas, sebagaimana yang ditulis oleh anak almarhum dalam kata pengantar, adalah impian Rudjito sejak menjalani masa pensiun, karena niatnya selalu ingin berbagi ilmu dan pengalaman.
Bagi mereka yang merintis karir di dunia perbankan, atau untuk sekadar menambah pengetahuan, buku ini layak dibaca. Meski bukan berupa biografi, terungkap juga sedikit latar belakang orang tuanya yang punya usaha jahit menjahit, dan Rudjito memilih kuliah di Fakultas Ekonomi karena bercita-cita meneruskan usaha orang tuanya tersebut. Namun begitu nasib membawa Rudjito bekerja di bank, yang dimulai di Bank Dagang Negara tahun 1972, ia langsung bertekad untuk jadi bankir 'beneran' dan bekerja dengan nothing to lose.