Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Ketika Tongkat Membawa Rebah

Diperbarui: 27 Juli 2016   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul di atas adalah versi Indonesia dari pepatah Minang: "Tungkek Mambao Rabah" yang kiasan bagi seseorang yang menjadi panutan namun ternyata menjerumuskan orang lain. Itulah yang spontan terpikir saat saya membaca Kompas edisi 23 Juli 2016 terkait kasus di sebuah bank.

Kasusnya terjadi di salah satu cabang bank milik daerah. Yang jadi obyek kasus adalah pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang menyalahi aturan. Ada 9 orang pegawai bank tersebut yang dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 600 juta. Kasus tersebut terbukti merugikan negara sejumlah Rp 9,8 miliar.

Dalam persidangan terungkap bahwa para terdakwa dari awal proses pemberian kredit sudah mengetahui bahwa debitur atau si peminjam tidak layak diberikan kredit. Tapi karena perintah atasannya untuk tidak melihat siapa debiturnya, namun melihat siapa yang membawa debitu tersebut, maka akhirnya kredit tersebut diberikan kepada calon cebitur.

Nah hal seperti itulah salah satu contoh yang saya maksud dengan "tongkat membawa rebah". Tongkat harusnya menopang seseorang untuk bisa berdiri sempurna, tapi tongkat yang goyah justru membuat rebah. Atasan yang harusnya menjadi role model malah menjerumuskan bawahannya melakukan perbuatan tercela.

Dalam dunia perbankan, kasus perkreditan memang paling banyak terjadi. Percaloan untuk mendapatkan kredit, atau adanya ketebelece dari orang terpandang yang merekomendasi seorang calon peminjam, sudah jamak adanya. Terlalu teknis kalau dipaparkan di sini, analisis apa yang dilakukan petugas bank sebelum membuat keputusan memberikan kredit kepada seseorang.

Tapi, petugas bank yang sudah punya "jam terbang" lumayan, dengan mendatangi lokasi usaha si calon peminjam, biasanya langsung puya feeling, usaha tersebut prospektif untuk dibiayai bank atau tidak. Hitung-hitungan kuantitatif hanyalah diperlukan sekadar menjustifikasi feeling itu tadi. 

Hanya saja, adakalanya petugas bank tergiur dengan iming-iming dari calon peminjam untuk memberikan "tanda terimakasih" sehingga tidak lagi teliti mempelajari kondisi usaha si calon nasabah. Atau seperti kasus di atas, atasannya yang mendesak, bisa karena si atasan "main mata" dengan calon peminjam, atau karena pusing tujuh keliling selalu dikejar-kejar target oleh atasannya yang lebih tinggi.

Bagi petugas bank yang berada dalam kondisi dilematis karena diminta atasannya untuk melanggar aturan, tak ada hal yang bisa dikompromikan. Bicaralah baik-baik secara jujur kepada atasan tentang kondisi si calon debitur. Bila atasan masih memaksa, apa boleh buat, jangan takut melaporkan ke atasan yang lebih tinggi. 

Bahkan kalau akhirnya atasan yang lebih tinggi ternyata tetap menyalahkan si petugas, risiko keluar dari pekerjaan pun harus siap dihadapi. Untuk soal integritas, harusnya tidak ada tawar-menawar, itu sudah harga mati. Ini tidak hanya berlaku di perbankan, tapi pada semua bisnis, bahkan juga semua pekerjaan. 

Bagi seorang atasan, berlakulah sebagai teladan bagi semua anak buahnya. Jangan gunakan kekuasaan untuk memaksa anak buah melakukan penyimpangan.  Jangan sampai karena bisa mengatur semuanya, termasuk mampu mengelak bila kasusnya di kemudian hari ditemukan, sehingga yang terhukum hanya anak buahnya saja, lalu sang atasan merasa bebas melanggar aturan.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline