Saya, mungkin juga banyak yang lain, merasa prihatin menimbang nasib Rio Haryanto. Baru saja saya menonton berita di Kompas TV, yang menyebutkan bahwa Minggu (24/7) besok, mungkin jadi lomba terakhir Rio di ajang balap mobil paling bergengsi di dunia, Formula 1 (F1).
Besok merupakan balapan ke 11 Rio dan berlangsung di Budapest, Hungaria. Memang jika mengacu pada kontrak bersama Manor Racing, Rio yang baru membayar setengah dari total 15 juta Euro, akan mengakhiri kariernya di pentas F1 pada balapan ke 11 tersebut.
Meski begitu, Rio mengaku kondisi tersebut tidak membebani pikirannya. Pembalap berpembawaan tenang dan masih berusia 23 tahun tersebut hanya memikirkan bagaimana caranya mendongkrak prestasi di GP Hungaria 2016. Rio pun sudah tidak sabar memberikan penampilan terbaik di Hungaria, dimana dia mampu finis di posisi keempat pada balapan GP2 Series tahun 2015 lalu.
Di lain pihak, sesuai berita Kompas TV di atas, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan pemerintah sudah angkat tangan dan minta maaf soal nasib Rio Haryanto. Imam menjelaskan bahwa pemerintah sudah meminta BUMN untuk membantu dengan menjadi sponsor Rio selama berkiprah di arena F 1. Namun, sejauh ini hanya Pertamina yang mau menjadi sponsor Rio.
Sebetulnya kalau melihat kinerja BUMN kita, yang telah terbukti meraih laba yang besar di atas Rp 10 trilyun setiap tahunnya, hanya ada 4 BUMN, yakni Pertamina, Telkom, BRI dan Bank Mandiri. Kalau hanya Pertamina yang berani "terjun" amatlah wajar karena menjadi sponsor Rio bisa dinilai sebagai biaya promosi. Toh pesaing Pertamina seperti Petronas, BUMN-nya negeri jiran Malaysia sudah lebih awal melakukan itu meski tidak ada pembalap Malaysia yang ikut.
Tapi Pertamina mungkin ngeper juga bila terjun sendirian. 15 juta Euro, angka yang terlalu besar untuk dipertanggungjawabkan, seperti apa hitung-hitungan ekonomis manfaatnya buat Pertamina. Salah-salah bisa jadi temuan atau catatan Badan Pemeriksa Keuangan.
Kalau hanya karena himbauan seorang menteri, apalagi hanya Menpora, bukan Menteri BUMN yang jadi bos-nya Pertamina dan BUMN lain, rasanya belum cukup sakti. Nanti bila pak menterinya berganti, gantian manajemen Pertamina yang kelabakan menjustifikasi langkah yang diambilnya.
Untuk itu mungkin diperlukan perhitungan yang rinci dari pihak ahli yang independen dan punya reputasi internasional sebagai konsultan, tentang sebesar apa manfaat bagi perusahaan yang menjadi sponsor di ajang F1. Siapa tahu juga besar artinya bagi Bank Mandiri yang punya beberapa cabang di luar negeri dan berambisi jadi bank yang mumpuni di level internasional.
Secara teknis akuntansi, pos yang pas untuk kontribusi menjadi sponsor Rio, hanyalah di pos "biaya promosi" dalam laporan keuangan perusahaan. Membukukan di pos lain, seperti biaya representatif atau biaya corporate social responsibilities, kurang logis, karena jumlahnya terlalu besar, dan sangat debatable bila dianggap sebagai tindakan sosial. Lombanya sendiri bersifat profesional, tentu yang berlaku adalah kaidah bisnis.
Bila boleh flashback ke era orde baru, mungkin dengan Instruksi Presiden ke puluhan konglomerat dan puluhan BUMN untuk urunan (tanpa perlu embel-embel logo perusahaan di pasang di kostum atau mobilnya Rio), rasanya persoalan selesai.
Tapi era reformasi menutup peluang seperti itu. Setiap kebijakan pemerintah harus didukung alasan yang layak secara politis, ekomomis, dan aspek lainnya. Dan yang paling penting harus memenuhi prinsip good governance.