Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Bukan Sekadar Film Tarzan

Diperbarui: 11 Juli 2016   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Saya membawa keluarga menikmati pusat kota Jakarta selagi belum begitu macet di hari terakhir libur lebaran, Minggu 10 Juli 2016. Tujuan awal hanya makan siang di sebuah mal di Senayan. Namun anak-anak saya merayu untuk ke bioskop setelah makan.

Anak-anak sudah mantap ingin menonton film kartun. Saya yang tidak suka kartun menjatuhkan pilihan pada film The Legend of Tarzan. Film mengenai tarzan, puluhan tahun yang lalu juga sudah ada dan saya menontonnya saat masih usia SD. Yang saya ingat adalah manusia hutan yang bergelantungan di pohon rimbun dan bisa melompat dari pohon ke pohon sambil berteriak: "Aauuoook"

Di Indonesia, Tarzan lebih terkesan untuk lucu-lucuan, karena pernah ada film komedi yang berjudul Benyamin Tarzan Kota. Kemudian publik mengenal seorang Tarzan yang merupakan salah satu personil grup lawak Srimulat. 

Tapi film The Legend of Tarzan sama sekali tidak ada unsur komedinya. Bagi penggemar film action, mungkin film ini lumayan menghibur karena banyak menyajikan pertarungan antara Tarzan dengan tentara bayaran yang dikomandoi utusan Raja Belgia yang menguasai Kongo, Afrika.

Menarik menyaksikan yang menjadi Tarzan dalam film ini bukan pria hitam legam, tapi bule tampan (diperankan oleh Alexander Skarsgard) yang saat bayi ditinggal kedua orang tuanya dan dibesarkan keluarga gorila di tengah hutan. 

Bagaimanapun, Tarzan adalah tokoh fiktif yang lahir melalui novel Tarzan of the Apes ciptaan Edgar Rice Burroughs di tahun 1912, sehingga bila terkesan kurang logis, ya memang begitu. Tapi tetap banyak pengetahuan yang bisa dipetik, karena latar belakang Afrika adalah hal yang nyata. Apalagi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Afrika seperti negara "antah barantah" atau kurang dikenal. Padahal Indonesia penggagas kerjasama Asia-Afrika.

Penonton juga terhibur dari perpaduan gambar cantik hutan perawan Kongo. Hutan lebat, padang rumput luas, sungai lebar dan jernih,  kawanan binatang hutan (gorila, gajah, singa, zebra,buaya, burung unta, dan semut hitam) serta kehidupan berbagai suku asli, yang awalnya hidup dalam harmoni dengan alam dan binatang buas, sangat enak ditonton

Tapi semuanya berubah jadi peperangan karena ketamakan pendatang dari Eropa. Film yang disutradarai Yates dan diproduksi Warner Bros ini dengan lugas mengangkat sisi kelam perbudakan di Afrika, perebutan berlian, dan perdagangan gading gajah. Jadi film ini tidak sekadar kisah tentang Tarzan, namun ada kritik sosialnya.

Dari catatan sejarah, Kongo di tahun 1884 (yang menjadi setting film) terbagi dua, yakni daerah jajahan Inggris dan daerah jajahan Belgia. Sekarang negara-negara di Afrika sudah merdeka secara politik, namun secara ekonomi masih dijajah negara maju yang konon memegang teguh hak asasi manusia.

Ngomong-ngomong, jangan-jangan negara kita juga belum merdeka secara ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline