Lebaran sebentar lagi. Salah satu agenda dalam berlebaran adalah bersilaturahmi, saling berkunjung antar famili, antar tetangga dan antar sahabat. Lazimnya, kunjungan tersebut tidak bersifat individual, tapi keluarga. Artinya baik yang berkunjung maupun yang menerima tamu melibatkan satu keluarga utuh, bapak, ibu, dan semua anak-anaknya.
Mengajak anak-anak untuk bersilaturahmi, di saat lebaran maupun di luar lebaran, sangatlah penting. Ini bagian dari proses pendidikan untuk mengenal keluarga besar, yang akan mengasah kepekaan sosialnya kelak. Memupuk rasa kedekatan seorang anak dengan kakek-neneknya, paman-bibinya, saudara sepupu, akan berguna bagi masa depannya, bahwa ia punya banyak orang untuk bermusyawarah dalam menghadapi persoalan kehidupan, bisa meringankan beban, dan bahkan bisa menambah rezeki.
Paling tidak anak-anak akan merasakan bahwa mereka hidup dalam kehangatan limpahan kasih sayang tidak hanya dari orang tua saja. Dan ini tidak bisa didapat dari sekadar saling bertelpon, berkirim kartu, berkirim sms, atau sekadar bersalaman terus masing-masing anak tidak saling berbicara, tenggelam dalam game di gadget-nya. Apalagi bila saat ikut orang tua ke rumah famili, mereka merasa terpaksa dan sudah ogah-ogahan.
Makanya saat mengajak anak, bangun kesadarannya bahwa ini penting bagi masa depannya. Dalam pertemuan, biasakan meminta si anak bercerita tentang perkembangan sekolahnya, les yang diikutinya, hobi, atau hal lain yang menarik perhatiannya.
Namun harus diakui, zaman sudah berubah banyak. Tidaklah gampang membujuk anak sekarang ikut bersilaturahmi yang dianggapnya sebagai dunia orang tua. Bagi saya secara pribadi, salah satu hal yang saya cemaskan, anak-anak saya yang sekarang sedang memasuki masa remaja, tidak mau tahu dengan sanak familinya baik yang sama-sama tinggal di Jakarta, apalagi famili yang tinggal di kampung saya di Sumbar atau kota lain. Anak-anak saya kelihatan lebih senang kumpul-kumpul sama teman sekolahnya saja.
Kalau temannya ngajak jalan ke mal, mereka sangat antusias. Tapi kalau saya dan istri mengajak mereka untuk bersilaturahmi ke rumah famili, mereka menolak. Adakalanya saya setengah memaksa terutama bila ada event khusus seperti lebaran, pernikahan famili, atau bila ada famili yang meninggal dunia.
Sebetulnya di rumah famili pun, ada anak-anaknya yang sebaya dengan anak saya. Tapi kelihatannya agak sulit agar mereka bisa dekat sedekat ke teman sekolahnya. Padahal generasi saya sangat dekat dengan famili yang sebaya sejak masa kecil dulu di kampung.
Cuma harus saya akui, dengan saudara yang agak jauh (misalnya nenek saya dan nenek si saudara, beradik-kakak), dan saat kecil tinggal di kota yang berbeda, derajat kedekatannya juga berkurang. Padahal saat saya awal ke Jakarta saya wajib ke rumah orang tuanya. Tapi begitu satu persatu yang satu generasi di atas saya sudah dipanggil Tuhan, saya dan anak-anak almarhum/almarhumah seperti ada jarak. Apalagi antara anak-anak saya dan anak-anak si saudara, semakin lebar jaraknya.
Kenapa hal di atas terjadi? Mohon maaf kalau agak berbau su'uzon, mungkin saat saya bertandang ke rumah orang tua si saudara, saya dianggap orang kampung, sementara si saudara adalah anak ibukota meski orang tuanya juga orang kampung yang merantau ke Jakarta. Tapi saya tetap berusaha sebisa mungkin datang ke rumah saudara-saudara tersebut yang sekarang tinggal memencar karena sudah punya keluarga masing-masing.
Tentu saya tak mau anak-anak saya yang semua lahir dan besar di Jakarta memandang rendah sepupunya yang anak kampung, baik saat saya pulang kampung maupun saat mereka ke Jakarta. Saya tekankan bahwa yang menentukan keberhasilan di masa depan bukanlah di mana ia lahir, tapi kegigihannya dalam mencari ilmu dan menerapkannya.
Toh andaipun saudara kita lebih malang nasibnya dari kita, kita wajib membantunya. Jangan biarkan mereka merasa rendah diri. Justru saudara yang kekurangan secara finansial, adakalanya kita butuhkan bantuan waktu dan tenaganya