Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Menengok Kampung Ayahanda dari Bung Hatta

Diperbarui: 11 September 2016   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebetulan saya berkesempatan berkunjung ke Nagari Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Batuhampar sebagaimana banyak tempat pedesaan di Ranah Minang, punya pemandangan indah dengan perpaduan gunung, sungai, jalan raya berliku, dan hamparan sawah.

Tapi Batuhampar bukanlah destinasi wisata utama karena tidak punya obyek wisata unggulan. Namun bagi kalangan yang memahami sejarah perkembangan agama Islam di Sumbar, pasti memahami kontribusi Batuhampar yang melahirkan banyak buya besar, karena di sana ada semacam pusat pengkaderan buya-buya, yang dipelopori Buya Abdurrahman.

Siapa Buya Abdurrahman? Beliau adalah kakek dari pihak ayah proklomator Republik Indonesia Bung Hatta. Beliau mendirikan Surau Batuhampar, sedikit surau dari era tahun 1800-an yang masih bertahan, dengan beberapa kali renovasi. Ada menara di belakang surau yang sampai sekarang masih terpelihara.

Makam ayahanda Bung Hatta, Syekh Muhammad Jamil dan juga makam nenek dari pihak ayah Bung Hatta berada di komplek Surau Batuhampar. Saat ini ada pula pondok pesantren Almanar, sebagai pengembangan dari Surau Batuhampar.

Syekh Muhammad Jamil mewarisi ilmu tareket dari Buya Abdurrahman. Sampai sekarang setiap bulan puasa masih ada jamaah yang melakukan suluk, yakni berdiam di surau sebulan penuh, untuk beribadah. Konon selama suluk, tidak diperkenankan memakan makanan yang ada unsur daging ayam atau sapi.

Bung Hatta sendiri lahir di Bukittinggi, kota tempat asal ibunya Siti Saleha, 12 Agustus 1902. Saat lahir nama yang diberikan orang tuanya adalah Muhammad Athar. Athar diambil dari bahasa Arab yang berarti "harum". Namun kemudian nama beliau berubah jadi Muhammad Hatta, dan saat era perjuangan merebut kemerdekaan, akrab disapa dengan sebutan Bung Hatta. Bersama Bung Karno, beliau disebut sebagai dwi tunggal.

Membaca tulisan di batu nisan ayahanda Bung Hatta, terlihat informasi bahwa beliau meninggal 4 April 1903. Artinya saat Bung Hatta kecil masih berumur 8 bulan, sudah ditinggal bapaknya.

Berikut beberapa foto dari komplek Surau Batuhampar yang saya jepret pada hari Minggu, 11 September 2016.

[caption caption="Surau Batuhampar"][/caption]

[caption caption="Tempat pengkaderan buya-buya"]

[/caption]

[caption caption="Makam ayah Bung Hatta (kiri) dan nenek Bung Hatta (kanan)"]

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline