Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Seandainya Indonesia Bangkrut

Diperbarui: 14 Juni 2016   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Lama saya melamun setelah membaca berita di harian Kompas 11 Juni 2016 yang memberitakan bahwa akan ada pemotongan anggaran belanja kementrian dan lembaga negara sebesar Rp 50 triliun mengingat semakin lebarnya defisit anggaran.

Secara bodoh saja, saya berandai-andai, yang nauzubillah mudah-mudahan tidak akan pernah terjadi, bagaimana bila defisit ini semakin besar, terus berakumulasi dalam beberapa tahun, sehingga negara "bangkrut" alias  tidak mampu memenuhi kewajibannya? Ya ini semacam pikiran nyeleneh saja, membayangkan bila jangankan untuk membangun infrastruktur, untuk membayar gaji pegawai saja tidak sanggup.

Soalnya, untuk mengatasi defisit anggaran, bila penerimaan pajak telah digenjot semaksimal mungkin, alternatifnya hanyalah mengurangi belanja atau cari utang baru. Melakukan penghematan tidaklah gampang untuk dipraktekkan. Akhirnya pilihan paling gampang adalah membuat utang baru, seperti menjual obligasi negara. Alhamdulillah, obligasinya selalu laku, karena selama ini pembayaran bunga dan pengembalian pokok pinjaman saat jatuh tempo, selalu lancar.

Tetapi, bila misalkan untuk membayar bunga kepada pemegang oblgasi sebelumnya, bersumber dari penerbitan utang yang baru, maka ini sama dengan gali lobang tutup lobang. Ini sebuah bom waktu. Ada yang berpendapat, gak usah takut dengan utang yang besar, sepanjang ada jaminannya. Dan jaminannya itu adalah kekayaan alam negara kita yang amat luas ini. Pembeli obligasi negara, yang mayoritas adalah pihak asing, sangat paham dengan jaminan itu, makanya obligasi kita laku. Lagi pula diiming-imingi suku bunga yang tinggi. 

Makanya ada anomali juga, di satu pihak pemerintah minta dengan tegas agar bank menurunkan suku bunga pinjamannya (dengan terlebih dahulu menurunkan suku bunga deposito), sementara suku bunga obligasi negara masih relatif tinggi. Artinya, bank-bank disuruh berkompetisi denga negara. Akibatnya pemilik dana besar lebih memilih membeli obligasi negara ketimbang mendepositokan ke bank-bank, sehingga likuiditas perbankan jadi kering

Agar bank tetap survive (bagi bank likuiditas adalah hal yang paling penting), tak bisa lain, harus tetap memasang suku bunga yang menarik agar pemilik dana mau menyimpan uangnya di bank. Pada gilirannya, target pemerintah agar bank menurunkan suku bunga pinjamannya menjadi single digit, akan semakin sulit terealisir. 

Kembali ke pikiran "kotor" di atas, saya kadang-kadang terpengaruh juga dengan analisis yang bersliweran di media sosial, yang validitasnya memang layak untuk diragukan. Salah satu contoh analisis yang saya maksud adalah bahwa pihak asing sengaja memborong obligasi pemerintah, atau memberi pinjaman bersyarat lunak, namun sebetulnya diam-diam sudah siap mencengkeram ratusan BUMN kita yang asetnya sudah ribuan triliun rupiah tersebut. 

Wah, jadi ngeri membayangkannya, makanya tulisan "berandai-andai" ini saya akhiri saja, karena yakin tidak bakal terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline