Dari kompasianer Indria Salim, pembaca sudah mendapat tulisan tentang tradisi munggahan di lingkungan perkantoran. Di tempat saya bekerja, meski secara formal tidak disebut munggahan, pada dasarnya juga melakukan hal yang sama.
Dari banyak divisi di kantor saya, yang menurut saya agak unik adalah tradisi yang sudah dibangun sejak lima atau enam tahun terakhir di divisi yang tugasnya terkait dengan akuntansi keuangan. Kalo divisi lain kebanyakan hanya melakukan makan bersama ke luar kantor, atau memesan makanan untuk di makan di kantor, maka di divisi akuntansi tersebut, makanan berasal dari pola gotong royong.
Artinya, masing-masing karyawan dipersilakan membawa makanan semampunya, dan dikoordinir oleh masing-masing bagian. Di divisi tersebut terdapat 8 bagian, dan total karyawan se divisi sekitar 135 orang. Karena setiap bagian membawa makanan yang berlimpah dengan jenis yang beragam, akibatnya meja ruang rapat penuh sesak oleh jejeran makanan, seperti terlihat pada foto di atas. Agar satu jenis tidak menumpuk, beberapa hari sebelumnya sudah ada kesepakatan, siapa membawa apa.
Kemeriahan dan kekompakan sangat terasa. Bahkan karyawan yang non muslim pun terlibat aktif, termasuk ikut membawa makanan. Acaranya diawali dengan doa bersama termasuk doa untuk memasuki bulan suci Ramadhan. Saking banyaknya makanan, adanya sisa makanan tidak terhindarkan. Namun hal itu bukan kemubaziran karena ibu-ibu sudah menyiapkan kantong plastik untuk membagi-bagikan makanan yang dibawa pulang.
Tradisi gotong royong makanan tersebut membuat saya teringat dengan suasana di kampunng saya, Payakumbuh, di zaman dulu, saat saya masih sekolah. Setiap mau masuk bulan puasa, semua laki-laki usia remaja ke atas ramai-ramai membersihkan pemakaman di jorong (kira-kira setingkat RW) masing-masing. Lalu yang wanita membawa makanan untuk dimakan ramai-ramai sehabis membersihkan kuburan.
Setelah saya jadi warga ibukota, ke pemakaman menjadi urusan masing-masing. Yang dibersihkan hanya makam famili sendiri, itupun yang membersihkan adalah anak-anak atau orang yang mencari makan dari membantu membersihkan kuburan.
Di Jakarta, antar tetangga tidak begitu saling mengenal. Makanya acara gotong royong makanan tidak lagi ditemukan di lingkungan tempat tinggal. Kalau akhirnya di lingkungan kantor, budaya itu dihidupkan kembali, tentu sangat positif. Memang bagi orang kantoran, teman kantor lah yang menjadi orang terdekat, karena sekitar 8 jam setiap hari saling berinteraksi. Bahkan lebih dekat dibanding dengan famili sendiri meski sama-sama bermukim di ibu kota, namun berbeda rumah, akan jarang ketemu.
Jadi, dalam soal saling memaafkan, teman kantor menjadi prioritas utama. Sedangkan teman lain, yang sebetulnya jarang bertemu, namun saling terhubung melalui hape, pada sibuk menulis permohonan maaf. Padahal kemungkinan tidak ada kekeliruan atau kekhilafan di antara mereka, karena komunikasinya hanya di saat mau puasa dan lebaran saja.
Membawa budaya "kampung" seperti munggahan ke kota, memang terasa indahnya, terasa guyubnya. Lebih punya "jiwa" dan tidak kering seperti mohon maaf lahir batin melalui copy paste di medsos.
[caption caption="Asyiknya makan bersama"][/caption]