Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Memahami Malaysia Melalui My Stupid Boss

Diperbarui: 5 Juni 2016   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Meledaknya film AADC 2 segera diikuti oleh My Stupid Boss (MSB). Ternyata sineas muda kita mulai bisa menemukan ramuan film bermutu dan sekaligus laku. Buktinya saya yang baru kemaren menonton, setelah lebih 2 minggu film MSB diputar, menyaksikan bioskop masih dijubeli penonton.

Karena saya relatif terlambat menontonnya, dan saya juga sudah membaca ulasannya dari beberapa kompasianer, maka kali ini saya mencoba menulis dari sisi yang lain. Saya merasa, publik Indonesia punya kesempatan memahami Malaysia dengan menonton MSB. Kebetulan setting ceritanya di Malaysia.

Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun. Makanya, upaya untuk saling memahami, perlu terus dipelihara. Alangkah tidak nyamannya bila hubungan bertetangga terganggu hanya karena salah paham.

Pertama, tentang istilah. Meski Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sama-sama berasal dari Bahasa Melayu, dalam perkembangannya semakin banyak dijumpai perbedaan kosakatanya. Ketika si bos yang orang Indonesia berucap akan mentraktir anak buahnya yang hampir semua orang Malaysia, anak buahnya tidak bereaksi. Barulah setelah si bos bilang free lunch, anak buah bersorak gembira.

Demikian juga istilah lain, seperti kerani untuk karyawan, kereta pejabat untuk mobil dinas, tandas untuk toilet, rumah kebajikan untuk panti asuhan, semua terdengar asing bagi kita. Tapi tolong untuk tidak mengatakan istilah tersebut aneh dan selera berbahasa mereka lebih rendah dari kita. Bagi mereka pun, justru istilah kita yang aneh, padahal kita merasa lebih kreatif.

Demikian pula untuk istilah bagi perusahaan. Mungkin tidak banyak penonton yang memperhatikan papan nama perusahaan si bos, yang di belakang nama perusahaan tertulis Sdn.Bhd. Itu maksudnya adalah Sendirian Berhad, yang kalau di Indonesia disebut PT (Perseroan Terbatas) dan ditulis di depan nama perusahaan.

Catatan berikutnya, di film MSB, kondisi Malaysia tergambar lebih makmur, dan kenyataannya memang mereka jauh lebih makmur dari kita. Sering kamera menyorot monorail yang melayang di sela-sela gedung tinggi, padahal di Jakarta baru dilanjutkan kembali pembangunan jalur monorail setelah terhenti sepuluh tahun.

Namun di negara makmur sekalipun, tetap banyak anak-anak difabel, atau yang berkebutuhan khusus, seperti yang ada di rumah kebajikan di film MSB. Kalau itu adalah kenyataan (film ini katanya berdasarkan kisah nyata), maka pengelolaan anak-anak difabel di Malaysia meski lebih baik dari kita, tapi lokasi dan sarana panti asuhannya terlihat masih sederhana.

Kemudian perlu dicatat bahwa bila di Indonesia ada beragam suku, maka di Malaysia ditopang oleh penduduk keturunan Cina dan India, yang jumlahnya hampir berimbang dengan penduduk bumiputera asli Melayu. Di perusahaan si bos di film MSB hal tersebut tergambar jelas.

Sering pekerja asal Indonesia yang masuk secara illegal tertangkap oleh polisi Malaysia saat razia. Tapi dalam MSB, yang diceritakan adalah ada anak buah si Bos yang orang Bangladesh yang tertangkap. Jadi, sebagai konsekuensi kemakmuran, Malaysia bagaikan gula yang dikerubungi semut-semut. Indonesia adalah penyumbang terbesar semut-semut itu, legal maupun illegal.

Artinya, terlepas dari beberapa aspek negatifnya, Malaysia ikut menjadi katalisator bagi problem pengangguran di negara kita. Sebaliknya, Malaysia tidak akan sepesat ini pembangunan fisiknya bila pekerja dari Indonesia tidak ada. Orang Malaysia sendiri emoh menjadi pekerja kasar, atau mau bila upahnya jauh lebih tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline