Libur panjang empat hari dari tanggal 5 sampai 8 Mei ini membuat pergerakan penduduk terjadi secara besar-besaran. Daerah wisata di mana-mana penuh, karena seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat, berwisata sudah naik tingkat menjadi kebutuhan rutin secara periodik.
Tak heran bila hotel bertumbuhan tidak saja di kota provinsi dan obyek wisata ternama, tapi juga di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan. Banyak perantau yang pulang kampung memilih menginap di hotel ketimbang di rumah saudaranya.
Ambil contoh di kampung saya, Kota Payakumbuh, 125 km di utara Padang, ibukota Sumatera Barat. Waktu saya kecil di tahun 70-an belum punya hotel, tapi ada tiga penginapan atau losmen, yakni Losmen Harau, Rasjaya dan Carano. Sekarang dari hitungan saya secara sekilas saja ada belasan hotel, termasuk bungalow di obyek wisata Harau.
Kebetulan seorang saudara sepupu saya membangun sebuah hotel berkamar 18 di sana. Menurut saudara ini, di hari libur panjang, hotel terisi penuh oleh perantau yang pulang kampung atau wisatawan, sehingga ada tamu yang terpaksa ditolak seperti pedagang yang berkeliling membawa barang pakai kendaraan niaga atau mereka yang terjebak kemacetan dalam perjalanan Padang-Pekanbaru atau sebaliknya.
O ya, jangan mengira kemacetan hanya khas ibukota atau kota besar lainnya. Di hari libur panjang, Padang-Payakumbuh yang normalnya ditempuh dalam 3 jam bisa molor jadi 7 sampai 8 jam. Di samping mobil yang dipakai perantau atau wisatawan, penduduk setempat pun banyak yang punya mobil.
Namun demikian bagi yang ekonominya pas-pasan namun tetap ingin bepergian, atau yang secara ekonomi mampu tapi kangen suasana kekerabatan, budaya Indonesia masih memelihara kebiasaan menginap di rumah saudara. Banyak hal positif dari budaya ini, tidak saja mempererat silaturahmi, tapi juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi, saling bertukar informasi antar tamu dan tuan rumah. Tentu juga sekaligus memupuk rasa tepo seliro, saling bertenggang rasa.
Keuntungan lain adalah terpeliharanya rasa persaudaraan antar anak-cucu yang tersebar di berbagai kota. Biasanya tamu membawa buah tangan yang lumayan dan juga meninggalkan uang belanja, sehingga tuan rumah tidak terbebani.
Hanya saja bagi yang menginap di rumah famili yang membawa beberapa anak kecil, perlu mengontrol anak secara baik. Sering anak kota rewel dan bertingkah seperti di rumah sendiri. Terutama anak dari kota besar sering minta makanan yang di kampung tidak ada atau mengacak-acak barang tuan rumah seenaknya. Unggah-ungguh anak kota tidak sesopan anak di kampung.
Tapi diakui atau tidak, virus individualisme semakin mengikis budaya kekeluargaan masyarakat kita. Dengan dalih privacy, mereka membuat sekat-sekat bahkan saat bersama saudara sendiri. Maka menginap di hotel, bukan di rumah saudara menjadi lumrah. Dulu, cara begini bisa membuat famili di kampung tersinggung. Tapi sekarang seperti sudah lumrah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H