Berita terkait adanya permintaan tertulis dari pejabat ke kedutaan RI di luar negeri untuk menyediakan fasilitas saat berkunjung ke negara tempat kedutaan itu berada, sempat menghiasi media masa beberapa hari yang lalu. Materi tulisan berikut, tidak terkait hal tersebut. Tetapi, dalam skala dalam negeri, "orang pusat" dan keluarganya kalau lagi berkunjung ke suatu daerah, lalu kedatangannya diketahui oleh jajarannya atau koleganya di daerah, maka penyediaan fasilitas sampai batas tertentu disinyalir masih biasa terjadi.
Apakah hal tersebut wajar atau tidak, dan sekiranya wajar sampai batas apa, rasanya bisa diperdebatkan. Tapi perlu diingat, rasa kekeluargaan orang Indonesia relatif tinggi, dan memuliakan tamu dianggap sebagai kewajiban tuan rumah. Bahwa hal tersebut bisa tergelincir sebagai salah satu bentuk gratifikasi, perlu pembahasan terpisah.
Justru karena sadar bahwa dalam era good governance sekarang ini, hal demikian masuk wilayah abu-abu, maka pihak yang berkunjung, apalagi untuk keperluan pribadi, tidak akan menggunakan surat resmi untuk minta fasilitas kendaraan atau yang lainnya. Cukup telpon saja atau sms atau melalui aplikasi media sosial, tanpa bernada instruksi. Pakai surat resmi malah jadi keliru, karena tidak ada dalam SOP atau prosedur untuk menjemput tamu yang bukan dalam rangka dinas ke unit yang dikunjungi.
Dalam berkomunikasi secara informal tersebut, kalimat bersayap lazim digunakan sebagai pancingan, dengan catatan mereka sudah saling kenal. Biasanya saat ada rapat koordinasi di ibukota, pejabat pusat saling berkenalan dengan pejabat daerah. Jadi ketika nanti ada rencana jalan-jalan ke suatu daerah, siapa nama pejabat di daerah tersebut harus dipastikan sebelumnya.
Biasanya muncul terlebih dahulu kalimat basa basi yang dimulai oleh orang pusat (OP) yang bertanya apa kabar, lagi sibuk apa gak, kepada orang daerah (OD). Lazimnya OD akan cepat tanggap menawarkan diri: "ada yang bisa saya bantu, bapak?". OP melanjutkan basa basinya dengan mengatakan bahwa gak ada apa-apa, hanya sekadar pengen membawa keluarga jalan-jalan.
OD yang mengerti langsung menyambar: "siap bapak, senang sekali bapak berkenan ke tempat kami, kapan rencana kedatangan bapak, biar kami siapkan penjemputan ke bandara dan juga mengantar ke tempat wisata". OP masih saja berbasa-basi, seolah-olah tidak ingin merepotkan tuan rumah hanya untuk urusan pribadi. Begini saja kata si OP: "saya hanya butuh info tentang tempat wisata yang menarik, bagaimana caranya ke sana, di mana tempat makan yang enak, tempat beli oleh-oleh yang terkenal, nanti biar saya tackle sendiri saja".
Nah, dapat ditebak pada akhirnya si OP akan "mengalah" dengan menerima tawaran fasilitas dari si OD dengan catatan kalau memang tidak merepotkan dan juga bila hal tersebut bukan suatu pelayanan yang berlebihan yang bisa ditafsirkan melanggar peraturan. OD juga butuh "menanam budi" pada OP sehingga nanti bila ada keperluan seperti ingin pindah ke kota lain, atau agar dipanggil ikut pelatihan, atau agar bisa naik pangkat, ada OP tempat bertanya.
Sekadar catatan, contoh di atas bersifat imajiner, meski disinyalir masih lazim terjadi. Hanya saja jenis pelayanan yang diberikan mengingat era sekarang adalah era "bersih", terbatas pada penyediaan kendaraan dan driver saja. Hotel harus dibayar sendiri oleh OP walau bisa dibantu pemesanannya oleh OD. Oleh-oleh seperti kripik atau sejenis itu barangkali masih diberikan OD, bukan yang berharga mahal. Bila OP misalnya 3 hari berkunjung, mungkin makan malam ditraktir OD untuk satu kali.
Tentu tidak bisa disamaratakan semua OP dan OD seperti itu. Selalu ada saja OP yang pulang kampung atau pergi ke tempat wisata diam-diam tanpa setahu OD di tempat kunjungan. Sebaliknya juga ada OD yang cuek saja, meski telah dikomunikasikan dengan kalimat bersayap sebagai pemancing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H