Mungkin luput dari perhatian pencinta sepak bola nasional yang lagi fokus menonton turnamen Piala Bhayangkara karena ada siaran langsung di televisi, ternyata Kamis kemaren ada dua laga pra PON yang berakhir ricuh.
Saya sendiri mengetahui secara tak sengaja. Dari berita salah satu stasiun televisi pagi ini, ditayangkan cuplikan bagaimana puluhan aparat keamanan meringkus seorang official Maluku Utara begitu laga usai melawan tim Papua. Lalu saya langsung mencari info dari beberapa media online, didapatlah berita tentang adanya dua laga pra PON yang berakhir ricuh.
Pertama, seperti berita di televisi, kericuhan terjadi di Stadion Wibawa Mukti, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Usai wasit meniup peluit panjang sebagai tanda akhir pertandingan, pemain dan official kesebelasan Maluku Utara mengejar wasit. Aksi tersebut memancing kemarahan pemain Papua dan para penonton yang melihat pertandingan. Saling pukul tak terelakkan.
Beruntung petugas polisi langsung melerai dan memisahkan kedua tim, dan wasit pun langsung diamankan. Dalam pertandingan tersebut Maluku Utara kalah 0-2, dan merasa faktor wasit menjadi biang kekalahan mereka.
Kericuhan yang lebih fatal terjadi pada pertandingan antara DKI Jakarta dan Jawa Timur, Kamis (24/3), di Stadion Arcamanik, Bandung. Akibat kericuhan tersebut pertandingan terpaksa dihentikan pada menit ke-74, dan rencana akan dilanjutkan pagi ini.
Sebelum keributan itu terjadi, Jatim sedang unggul atas lawannya itu dengan skor 2-1. Kejadian bermula saat penjaga gawang DKI melayangkan protes kepada wasit. Dia tidak terima lantaran ada rekannya yang kesakitan namun pertandingan tetap berjalan. Wasit bertindak tegas dengan memberi kartu merah pada sang kiper. Namun, tindakan tersebut justru memancing emosi pemain DKI lainnya. Mereka beramai-ramai mengeroyok wasit dan sempat bersitegang dengan pihak keamanan pertandingan.
Apa yang harus kita komentari atas kericuhan tersebut? Prihatin sudah pasti. Tapi kenapa penyakit yang satu ini selalu saja dipelihara dalam budaya sepak bola kita. Pra PON adalah laga untuk pemain muda di bawah 23 tahun. Tapi kalau di saat muda sudah seperti itu, alamat akan terbawa sampai terus sampai menjadi pemain pro.
Mungkin di semua sekolah sepak bola, pendidikan karakter harus mendapat porsi yang lebih besar. Pemutaran video laga internasional yang lebih tertib harus sering pula dilakukan, sehingga bisa menjadi acuan bagaimana berperilaku di lapangan.
Atau memang hal tersebut harus diterima sebagai sepak bola ala Indonesia? Tidak hanya pemainnya hobby ricuh, pengurusnya juga, sampai ke level asosiasi sepak bola nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H