Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

LGBT di Sekitar Kita, Bukan Penghambat dalam Bekerja

Diperbarui: 23 Februari 2016   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

LGBT, saya tidak ingin menuliskan kepanjangannya, karena berasumsi semua pembaca sudah tahu. Saya sendiri sudah berada pada taraf "muntah" karena saking banyaknya menerima tulisan atau foto di medsos tentang hal ini, dan biasanya info terkait LGBT langsung saya hapus.

Tulisan ini sama sekali tidak berisi opini atas polemik apakah keberadaan LGBT perlu diatur oleh undang-undang atau peraturan lainnya atau dibiarkan mengambang seperti selama ini. Yang jelas LBGT itu, nyatanya ada, meski dalam administrasi kependudukan tidak ada.

Berikut percikan pengalaman saya sejak dari bangku kuliah yang secara tidak langsung ada kaitannya dengan LGBT, meski saat itu istilah LGBT belum umum diketahui. Saya meyakini, disadari atau tidak, di sekitar kita ada saja pelaku LGBT.

Dulu, waktu saya kuliah di Padang di dekade 1980-an, ada teman saya G dan L. Dua-duanya perempuan dan bersahabat secara lengket, dan kebetulan mereka juga satu kamar kos. Si G penampilannya amat tomboy, sedangkan si L penampilannya normal sebagai wanita.

Entah benar atau tidak, isu di kalangan teman-teman sangat kuat bahwa mereka lesbi. Namun setahu saya, si L akhirnya meski di usia yang agak terlambat. Sedangkan si G sampai sekarang belum saya ketahui perkembangannya

Sewaktu saya mulai dapat pekerjaan di sebuah BUMN di Jakarta, ada seorang bapak bernama D yang sangat baik sama saya. Bapak ini pekerja administrasi yang pangkatnya malah di bawah saya yang diterima langsung pada level staf. Sewaktu istirahat,  bahu saya sering dipijitnya. Terasa enak.

Pas saya lagi masuk angin, ia menyarankan saya untuk dikerok. Sesuatu yang tidak lazim bagi saya dan juga kebanyakan orang Minang. Tapi karena ia pintar merayu, saya coba juga. Itulah pengalaman pertama saya dikerok. Lumayan, setelah itu agak baikan.

Nah, suatu kali waktu saya dikerok lagi di musola, saya mengendus cara pak D ini memijat rada gak biasa, agak menjurus daerah sensitif. Saya langsung saja pura-pura ada kerjaan mendesak, dan minta pemijatan sekaligus pengerokan ini diakhiri. Sejak itu saya tidak mau lagi dipijat pak D, meski hubungan secara pribadi tetap baik.

Setelah itu saya lebih teliti mengamati gerak gerik pak D, dan memang  kelihatan agak kemayu. Melambai, kata anak sekarang. Tapi ada beberapa lelaki di kantor saya yang seperti itu, dan tidak bisa serta merta dicurigai sebagai pelaku LGBT. Karena dari kelompok melambai ini sebahagian besar akhirnya menikah, ada yang punya anak, ada yang tidak.

Ada pula yang sampai saat ini, dalam usia di ujung kepala empat atau awal kepala lima, tetap membujang. Nah, yang model beginianlah yang dalam versi cerita burung disinyalir punya orientasi seksual yang berbeda. Tapi karena mereka pintar dan berkinerja baik, karir mereka lancar-lancar saja, dan secara formal tidak ada yang mempersoalkan kenapa dia memilih jadi bujangan. Artinya, kalaupun mereka memang punya kelainan, tidak ada diskriminasi dalam karir.

Anehnya, kalau yang bujangan itu dari kalangan ibu-ibu (mungkin masih gadis, tapi karena berusia setengah baya, tetap dipangil ibu), saya tidak mendengar bisik-bisik aneh tentang kelainan orientasi seksual. Yang diusilin malah analisa kenapa sampai sekarang mereka tidak "laku". Entah kebetulan atau tidak, rata-rata ibu-ibu yang masih sorangan wae tersebut, mohon maaf, tergolong judes. Sama seperti bapak-bapak, tidak ada diskriminasi dalam karir bagi ibu-ibu kelompok ini, karena beberapa   di antaranya berhasil menggapai posisi tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline