[caption caption="Dok. Pribadi"][/caption]Inilah sebuah perjalanan darat terpanjang yang saya lakukan sejak 18 tahun terakhir, dan pengalaman pertama saya membagi perjalanan dalam tiga etape. Dulu, saya memang pernah melakoni naik bis jarak jauh yakni dari Bukittinggi ke Jakarta atau sebaliknya. Pernah pula dari Jakarta ke Denpasar dan sebaliknya. Tapi itu semua dalam satu etape, yakni di bis tersebut, meski diselingi naik ferry.
Nah, kali ini peristiwanya lain. Ceritanya saya ditunjuk menjadi saksi pernikahan salah seorang keponakan saya di Payakumbuh, Sumbar, Sabtu tanggal 20 Februari 2016. Di lain pihak hari Kamis sebelumnya saya dapat penugasan dinas ke Medan.
Dengan mempertimbangkan banyak hal, termasuk frekuensi pesawat Medan - Padang yang hanya sekali sehari di sore hari, saya memutuskan menjalani tiga etape perjalanan. Etape 1, naik kereta api dari Medan ke rute terjauh ke arah selatan, yakni Rantau Prapat sejauh 280 km. Etape ke 2, ada teman di Rantau Prapat yang bersedia meminjamkan mobil plus sopir ke Duri, Riau sejauh 250 km. Di Duri saya punya adik yang sudah menunggu untuk bersama-sama menempuh etape 3, Duri - Payakumbuh, sejauh lebih kurang 300 km.
Etape 1 berlangsung mulus selama 4 jam 25 menit, naik kereta api trip terakhir. Berangkat dari Stasiun Medan pukul 22.30, dan sampai di Stasiun Rantau Prapat pukul 03.55. Kereta apinya meski tidak senyaman kereta Argo Bromo di Jawa, tapi standar layanannya sama dengan kereta di Jawa.
Karena perjalanan malam, tak banyak yang bisa saya ceritakan. Stasiun yang dilewati yang saya ingat adalah Tebing Tinggi dan Kisaran. Beberapa stasiun lainnya tidak saya ketahui karena tertidur bermodalkan selimut yang disewa Rp 10.000. (Kalau di Argo Bromo selimut tersebut dinikmati secara gratis).
Etape 2 start jam 4.00 dini hari. Rantau Prapat di saat subuh memang sepi. Tapi di siang hari saya bayangkan sebagai kota yang sibuk, melihat banyaknya ruko bergaya baru, dan juga toko-toko bergaya lama. Dan ternyata ada banyak hotel di sepanjang jalan utama.
Rantau Prapat memang kota persinggahan jalur darat Pekanbaru - Medan. Ini adalah jalur yang padat terkait keberadaan kebut sawit dan karet yang amat luas di provinsi Sumut dan Riau. Meskipun harga produk perkebunan sekarang ini lagi turun, tapi sisa kejayaan masa lalu terlihat jelas.
Beberapa kota baru bertumbuhan di jalur Rantau Prapat - Duri. Setiap habis melewati kebun sawit yang berjejer rapi belasan kilometer, akan bertemu kota kecamatan atau kota kabupaten hasil pemekaran. Kotanopan, Bagan Batu, Balam, dan Ujung Tanjung, adalah kota-kota yang dilewati yang masing-masingnya mempunyai beberapa hotel, ruko ruko modern yang memanjang, sebagian untuk burung wallet. Juga gampang ditemui masjid yang bagus, klinik kesehatan, kantor multifinance yang mengkredit motor, kantor bank, mini market, dan sebagainya.
Banyak becak motor atau yang dikenal dengan bentor berkeliaran di jalan. Becaknya ada disisi kiri motor. Anak sekolah yang membawa motor tanpa helm juga memenuhi jalan yang keriting konon karena struktur tanah gambut, terutama setelah memasuki wilayah Riau.
Akhirnya sampai juga di Duri sekitar jam 9 pagi. Hitung-hitung cuma 5 jam sudah termasuk shalat subuh di sebuah masjid di Kotanopan dan sarapan pagi di warung pinggir jalan. Duri statusnya hanya kota kecamatan. Tapi kapasitasnya sudah setara dengan kota kabupaten kelas menengah.
Kota Duri relatif makmur berkat keberadaan perusahaan minyak Chevron. Kalau masuk ke komplek Chevron, seperti ada sepotong Amerika di sana.