Banyak sekali foto-foto tentang banjir di banyak tempat di Pulau Sumatera yang saya terima melalui medsos, sejak hari Senin 8 Februari yang lalu. Mulai dari banjir di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bangka Belitung, dan tempat lainnya.
Karena saya berasal dari Sumatera Barat, saya agak lama memperhatikan foto banjir di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten 50 Kota. Banjir di Solok Selatan memang relatif rutin tahunan, tapi kali ini menurut banyak pemberitaan dan juga foto-foto yang saya lihat adalah yang paling parah. Banyak rumah yang hanya terlihat atapnya saja.
Yang membuat saya kaget adalah banjir di Kabupaten 50 Kota yang membuat jalur darat Padang - Pekanbaru terputus. Daerah tersebut sebetulnya relatif jarang terkena banjir. Sekali terkena, malah langsung parah.
Masih segar dalam ingatan, beberapa bulan lalu, bencana asap dari kebakaran hutan yang menghajar di sebagian besar areal di Riau, Jambi, dan Sumsel. Saat tersebut iklim sangat kering, tidak hujan-hujan. Banyak penduduk yang melakukan shalat minta hujan. Sering pula hujan buatan diturunkan.
Sekarang situasi yang kontras yang terjadi. Curah hujan begitu tinggi. Namun sama-sama menimbulkan bencana. Sama-sama memaksa banyak penduduk dievakuasi. Sama-sama memakan korban jiwa.
Kalau kebakaran hutan, yang dituding adalah perusahaan perkebunan besar dan juga perkebunan rakyat sebagai biang keladinya, maka banjir baru-baru ini diduga karena aktifitas pertambangan.
Sesuai berita dari okezone.com, menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar, Uslaini, di Solok Selatan saja ada sekitar 12 izin tambang, baik itu tambang emas, logam dan tambang besi semuanya ada di aliran sungai. Sementara itu, untuk Kabupaten Limapuluh Kota, ada 13 izin tambang di daerah Kecamatan Pangkalan Koto Baru yang umumnya menambang batu bara, timah dan besi.
Jelaslah bahwa bencana asap ataupun bencana banjir lebih disebabkan karena ulah manusia. Bahkan kemungkinan ulah tersebut terorganisir karena ada perusahaan yang terkait, baik dengan izin resmi maupun yang tanpa izin. Sangat memprihatinkan karena yang menderita akhirnya masyarakat banyak.
Apapun juga bencana tersebut telah terjadi. Untuk korban banjir di Sumbar, beberapa diantaranya kehilangan rumah, di samping ada yang kehilangan anggota keluarga. Mudah-mudahan para perantau asal Minang tergugah untuk segera membantu. Mengandalkan kepada bantuan pemerintah saja rasanya tidak akan mencukupi.
Mudah-mudahan pula, semua pihak terkait bisa mengantisipasi agar bencana serupa tidak terulang lagi di masa datang. Kalaupun terjadi, mitigasinya berjalan dengan baik, sehingga masyarakat tidak menderita separah sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H