Ada teman saya di kantor, namanya Budi. Setiap ada acara nyanyi-nyanyi, umumnya diiringi organ tunggal, Budi sangat bersemangat menyumbangkan suaranya yang memang sudah sumbang. Budi tidak menyadari bahwa teman-teman yang menyorakinya bukan terhibur karena kemerduan suaranya, tapi ngeledek kesumbangannya. Lagi pula Budi pantang dikasih mic. Begitu mic di tangannya, paling tidak tiga lagu meluncur dari mulutnya secara non-stop. Gayanya bak penyanyi pro. Padahal, pemain musik bingung mengiringinya.
Nah, perumpamaan "pantang dikasih mic" tersebut ternyata berlaku untuk banyak hal, bahkan menjadi fenomena. Hal ini terutama marak sejak tumbangnya orde baru, dan dimulainya era reformasi. Di setiap ada pertemuan, rapat, seminar, termasuk juga dalam acara talk show di televisi, baik dari tempat shooting maupun via teleconference, banyak orang yang berebutan untuk memegang mic. Begitu kebagian, akan ia gunakan benda yang amat berharga itu untuk selama ia bisa.
Ada juga yang mendapat mic bukan karena menang rebutan, tapi memang diminta, seperti seorang pejabat atau tokoh masyarakat, yang memberikan kata sambutan di suatu acara. Namun pada hakekatnya sama saja, si pejabat tersebut cenderung untuk berpanjang-panjang memberikan kata sambutan. Meski sebetulnya Presiden Jokowi telah memberikan contoh, menyampaikan kata sambutan sebetulnya cukup inti-intinya saja, tapi kayaknya belum menular ke bawah.
Memegang mic berarti kesempatan untuk unjuk pengetahuan, unjuk pengalaman, unjuk kepintaran, unjuk ke-wisdom-an, bahkan juga unjuk amal baik yang telah diperbuat. Makanya dalam arena seminar atau talkshow, adakalanya moderator terpaksa memotong pembicaraan seseorang di sesi tanya jawab, karena setelah ditunggu-tunggu, tidak jelas apa yang ditanyakannya, justru hanya pamer pengalaman itu tadi. Saat ditanya, "pertanyaannya apa?", yang lagi pegang mic langsung gelagapan, dan mengakui yang dia sampaikan adalah pernyataan, bukan pertanyaan.
Kemampuan berbicara seperti mendapatkan tempat tersendiri setelah tercipta kondisi yang jauh lebih bebas di era reformasi ini. Kalau dulu, proses pengambilan keputusan dalam rapat-rapat, tidak hanya di organisasi pemerintah, tapi juga swasta, cenderung ikut apa kata atasan, atau pihak yang diberi mandat sebagai ketua. Namun sekarang tidak bisa begitu, harus adu keras ngomong dulu, itupun bisa berakhir dengan lahirnya organisasi baru sebagai tandingannya.
Mungkin, kenapa pemerintahan Jokowi-JK mengusung slogan "Kerja, Kerja,Kerja" karena bosan juga mendengar selama ini orang-orang banyaknya hanya berbicara, tapi miskin implementasi. Namun, ternyata merubah kebiasaan itu tidak gampang. Apalagi secara budaya, bangsa kita memang gemar berbicara. Lihatlah warung kopi atau kafe dari kota sampai pelosok, ramai didatangi pelanggannya untuk kongkow-kongkow, termasuk di jam-jam yang seharusnya digunakan untuk bekerja.
Lagi pula, keahlian berbicara, kalau diasah terus menerus, laku untuk dijual. Sekarang ada profesi baru yang disebut "motivator", di samping trainer atau pembicara di seminar-seminar yang telah lama ada. Seorang motivator, menjual keahliannya berbicara untuk memotivasi orang lain. Pelawak gaya stand-up comedy pun mulai banyak ditanggap. Tapi bagi orang yang sudah berada di tahap ini, pekerjaannya memang "berbicara".
Bagi yang tidak berminat untuk menjajal profesi seperti di atas, hendaknya kembali menggunakan haknya untuk berbicara secara sewajarnya saja. Kalau dipersilakan bertanya, ya ajukan pertanyaan, bukan diberi intro panjang lebar yang gak ada kaitannya. Kalau diminta menanggapi suatu presentasi, langsung ke poin-poin yang ada perbedaan pendapat. Kalau memberi kata sambutan, langsung ke topik acara yang telah diagendakan. Cara seperti ini tidak saja lebih efektif, tapi juga membuat para pendengar tidak terganggu dan tidak merasa bosan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H