Kompas 6 Januari 2016 menampilkan infografis dari jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas terkait etika generasi muda. Ada 2 pertanyaan yang diajukan kepada 613 responden di 12 kota. Pertama, "Saat ini lebih baik, sama atau lebih burukkah etika generasi sekarang dibandingkan generasi sebelumnya?". Kedua, "Perilaku apakah saat ini yang tergerus atau nyaris tidak ada pada kebanyakan generasi muda?".
Terhadap pertanyaan pertama, mayoritas responden (67 persen) menyatakan generasi sekarang etikanya lebih buruk. Untuk pertanyaan kedua, 66,9 persen responden menyatakan bahwa sopan santun dan menghargai orang lain/orang lebih tua adalah perilaku yang tergerus pada kebanyakan generasi muda.
Seandainya saya diminta menjadi responden, jawaban saya sama dengan jawaban mayoritas. Sangat gampang mendeteksi perilaku anak sekarang. Lihat saja di angkutan umum. Lelaki yang muda dan sehat cuek saja duduk di bangku sementara ada ibu hamil atau orang tua berdiri berdesakan. Cara berbicara anak sekarang kepada orang tua atau gurunya pun juga sudah seperti berbicara kepada temannya saja.
Hal ini sejalan dengan dengan apa yang saya temukan di perusahaan tempat saya bekerja. Sopan santun atau cara berbicara pegawai yang baru diterima, termasuk peserta program Official Development Program (ODP) yang tahap seleksinya lebih ketat karena merupakan program pengkaderan pejabat perusahaan, kurang memperhatikan unggah-ungguh.
Ada beberapa sikap pegawai baru yang kurang enak dilihat. Pertama, saat berkumpul di ruang rapat dalam rangka briefing tugas, mereka cuek saja asyik dengan gadget-nya atau ngomong sesama mereka. Kedua, sering abai untuk pamit ke atasannya bila ada keperluan meninggalkan kantor, dan tidak melapor ke atasan bila telah masuk kembali sehabis mendapat penugasan tertentu. Ketiga, kalau berbicara dengan atasan atau yang lebih senior, sering menggunakan "aku" yang kesannya informal ketimbang "saya" yang lebih sopan.
Keempat, kalau berkumpul sesama mereka, sering lupa memperhatikan kondisi sekitar, sehingga merasa bebas untuk tertawa ngakak, menyetel musik dengan volume keras, dan sebagainya. Kelima, berpakaian rada seenaknya, terutama yang staf perempuan sering tidak sadar dengan posisi duduknya saat rapat yang membuat bagian tubuhnya yang seharusnya tertutup jadi terlihat. Keenam, gampang memprotes termasuk ke karyawan yang lebih senior, namun gampang pula menolak tugas dengan alasan itu bukan job saya.
Daftar di atas hanya sebatas yang saya ingat secara spontan, sangat mungkin masih banyak yang belum saya catat, yang dulu sewaktu saya dan teman-teman se angkatan mulai berkarir tidak berani kami lakukan. Namun tentu tidak adil kalau hal di atas kita timpakan kesalahannya pada anak muda semata. Tentu anak muda sekarang dibentuk oleh lingkungannya. Bisa jadi para orang tua turut memberi andil karena orang tua sekarang cenderung memanjakan anak dan juga banyak yang memperlakukan anak sebagai teman.
Pihak sekolah juga punya andil karena porsi untuk pelajaran budi pekerti semakin sedikit. Guru agama pun mungkin punya andil karena lebih banyak mengajarkan aspek teknis beribadah. Sudah begitu keteladanan dari para orang tua, termasuk tokoh masyarakat, nyaris tidak ada lagi. Di jalanan kita melihat para orang tua bertengkar karena senggol-senggolan kendaraan. Di televisi kita melihat para pakar atau pejabat saling beradu urat leher, saling adu argumen seperti saling menggertak.
Semua faktor penyebab di atas ditambah lagi dengan dunia anak sekarang yang jauh berbeda dengan waktu generasi terdahulu masih muda. Anak sekarang lebih induvidualis, tidak merasa butuh bersosialisasi, dan bisa berjam-jam asyik dengan dengan berbagai games. Semua keperluan seolah-olah bisa dipenuhi dari gadget-nya.
Jadi, ini bukan masalah para remaja atau anak muda semata. Ini masalah kita semua. Mungkin program revolusi mental bisa menjadi solusi. Tapi saya ingin mengutip ceramah Aa Gym, uztad kondang pada zamannya, bahwa kuncinya adalah: mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang juga. Bayangkan jika semua orang secara simultan melakukannya, ya inilah revolusi mental yang sesungguhnya, bukan sekadar retorika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H