Kemaren, Selasa tanggal 17 November 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar acara "Risk and Governance Summit 2015". Karena host-nya OJK tentu gampang ditebak, pesertanya mayoritas adalah praktisi di bidang keuangan. Saya kebetulan mengikuti acara yang dikemas dalam suatu diskusi panel setengah hari tersebut.
Sebetulnya ini acara rutin tahunan dari OJK. Tapi ada 2 hal yang agak lain kali ini. Pertama tempatnya bukan di hotel mewah, tapi di Museum Nasional atau sering disebut Musium Gajah. Di sana ada hall besar yang layak untuk acara yang diikuti ratusan orang. Tapi sebelum mencapai hall, peserta harus melewati beberapa koleksi museum. Ternyata asyik juga melongok museum, dan mayoritas peserta mengaku baru kali itu masuk museum tersebut atau sudah belasan tahun tidak pernah masuk.
Kedua, panelisnya justru bukan dari kalangan industri bidang keuangan. Bertindak sebagai moderator adalah pakar komunikasi Effendi Gazali yang dulu sering tampil di acara talkshow sebuah stasiun tv. Materi integritas dari perspektif humanist dipaparkan oleh sastrawan dan budayawan Remi Silado. Integritas dari perspektif "buya" dipaparkan oleh mantan ketua Muhammadiyah yang saat ini berusia 80 tahun tapi tetap kritis, Ahmad Syafii Maarif. Kemudian, integritas dari perspektif generasi Y, dibawakan oleh Nadiem Makarim pencipta aplikasi Go-Jek.
Selama ini praktisi keuangan telah kenyang membahas integritas dari sisi regulator, pelaku bisnis keuangan, dan akademisi, yang cenderung terjebak pada formalitas. Makanya kali ini OJK ingin melihat dari sisi akar budaya.
Kemarin dengan gaya yang eksentrik, Remi Silado tampil memukau. Menurut beliau budaya kita yang sok tahu, birokratis dan feodal telah menghalangi munculnya integritas yang sesungguhnya. Bahkan pembenaran adanya budaya memberi atau upeti di zaman dulu dari masyarakat kepada raja, ada juga yang memberi kepada guru agama, sebetulnya suatu kekeliruan.
Buya Syafii Maarif memberikan definisi sederhana untuk integritas yakni tidak pecah kongsinya kata dengan perbuatan. Untuk setiap tindakan yang di dalam hati terasa tidak enak, sebetulnya sudah indikator melanggar integritas.
Terakhir anak muda kebanggaan Indonesia yang membuka lapangan kerja untuk 200 ribu pengojek serta aplikasinya telah diunduh 6,5 juta pemakai, Nadiem Makarim, memaparkan bagaimana teknologi bisa mendukung lahirnya integritas. Dengan teknologi semuanya akan transparan. Apalagi bila semua transaksi harus non-tunai, akan menyulitkan bagi yang ingin main mata.
Itulah sekelumit sharing dari Risk and Governance Summit 2015. Foto dokpri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H