Salah satu program unggulan pemerintah yang digenjot kencang untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat, adalah pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui program ini pelaku usaha kecil mendapat bantuan pinjaman yang persayaratannya mudah. Kalau hal ini dianggap akan menjadi penyelamat, tentu cukup beralasan, meski harus dicamkan bahwa tidak akan bisa instan.
BRI sebagai bank yang paling agresif dalam menyalurkan KUR menyampaikan bahwa sampai akhir tahun 2015 telah merelealisir pinjaman tersebut sejumlah Rp 15 triliun dari sekitar 860.000 orang peminjam, seperti diberitakan koran Investor Daily, 29 Desember 2015. Dari koran yang sama diberitakan pula adanya penyaluran KUR dari Kantor Cabang BRI Tanah Abang Jakarta kepada 120 orang pengusaha/pemilik angkutan bajaj dan 120 orang pengusaha tahu-tempe. Masing-masing pengusaha bajaj mendapat kredit Rp 65 juta (tergolong KUR Ritel) dan perajin tahu-tempe Rp 25 juta (tergolong KUR Mikro).
Untuk tahun 2016 ini melalui berbagai bank yang ditunjuk pemerintah, ditargetkan lebih dari Rp 100 trilyun KUR akan disalurkan. Jadi kalau selama ini banyak pelaku usaha kecil yang terganjal berbagai persyaratan teknis administratif bila mengajukan pinjaman kepada bank, dengan KUR hal tersebut tidak menjadi persyaratan utama, sepanjang bank meyakini usaha yang dilakukan calon peminjam punya prospek, dalam arti dinilai mampu mengembalikan kredit bank bersumber dari hasil usahanya tersebut.
Pemerintah pun juga memberi subsidi bunga atas pembiayaan KUR ini. Artinya suku bunga yang dikenakan kepada pelaku usaha kecil lebih rendah dari suku bunga sejenis yang bukan KUR. KUR Mikro sebagai contoh di tahun 2015 mengenakan suku bunga 12 % pada peminjam, meski bank juga mendapat 5 % dari pemerintah. Jadi total yang didapat bank adalah 17 %. Namun ini masih di bawah suku bunga kredit sejenis yanng bukan KUR, yang bisa di atas 20 %. Bahkan di tahun ini suku bunga KUR Mikro yang dibebankan pada nasabah kemungkinan lebih rendah lagi.
KUR sebetulnya menjadi program andalan dari pemerintahan SBY, dan telah diintrodusir sejak akhir tahun 2007. Di awal era Presiden Jokowi sempat dihentikan sebentar untuk dievaluasi, sebelum akhirnya diteruskan dengan beberapa penyempurnaan. Wajarlah bila banyak yang berharap KUR bisa menjadi penggerak perekonomian di tingkat akar rumput.
Saking beragam dan luasnya cakupan KUR, karyawan yang baru terkena PHK, atau istri seorang karyawan pun bila punya usaha seperti membuka warung, bisa mendapat pinjaman jika usahanya diyakini oleh pihak bank mendatangkan laba. Namun seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini, hasil KUR mungkin akan bagus secara individual peminjam. Tapi untuk segera berhasil menciptakan banyak lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat secara agregat, tidak akan bisa secara instan.
Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, KUR rawan moral hazard bila terjadi "kerjasama" antara oknum bank dengan peminjam. Kedua, petugas bank bisa pula kehilangan sensitivitasnya dalam menilai kelayakan usaha calon peminjam demi memenuhi target. Ketiga, tidak tertutup pula kemungkinan adanya intervensi dari pejabat atau pihak yang mempunyai bargaining power pada pihak bank untuk memberikan KUR pada anggota kelompok tertentu.
Keempat, kegagalan yang menjadi risiko bisnis dalam arti prosedurnya sudah benar tapi peminjam tidak bisa mengembalikan kreditnya karena usahanya kalah bersaing dengan usaha sejenis. Kelima, kesengajaan peminjam untuk tidak mengembalikan kreditnya ke bank karena menganggap KUR bersifat bantuan. Sebetulnya bantuan pemerintah cuma berupa subsidi bunga dan adanya penjaminan dari lembaga penjamin kredit. Tapi jelas bukan bantuan gratis. Makanya kelayakan usaha menjadi faktor penentu
Keenam, perlu disadari faktor modal bukan satu-satunya penentu keberhasilan usaha. Sense of business para pelaku usaha yang jeli melihat peluang dan kreatif memenuhi kebutuhan masyarakat atau kreatif menciptakan sesuatu yang membuat masyarakat merasa membutuhkan barang atau jasa yang dijual, jauh lebih penting. Untuk itu bank tidak bisa hanya sekadar mengguyur dana tapi juga memantau kelangsungan usaha dan mendampingi peminjam secara periodik layaknya konsultan. Bila tidak, bank jangan merasa kecele bila uang dari bank dipakai peminjam untuk tujuan konsumtif, bukan untuk usaha seperti di proposalnya.
Ketujuh, karena ada fungsi bank seperti konsultan, maka petugas bank yang menangani KUR harus memenuhi kriteria tertentu. Dan itu tidak semata-mata dilihat dari kemampuan akademis di bangku kuliah. Dapat dipahami, mengapa BRI sebagai bank yang paling dominan sebagai penyalur KUR, merekrut anak pedagang pasar yang punya ijazah pendidikan formal sebagai petugas KUR. Tentu maksudnya agar orang bank paham praktek di samping juga teori.
Masih banyak lagi faktor lain yang membuat KUR bukan sebagai penyelamat instan. Tapi tujuh hal di atas paling tidak bisa mewakili. Yang ingin dikemukakan di sini adalah semua pihak terkait perlu konsisten dan sabar sambil selalu melakukan perbaikan berkelanjutan agar program besar ini, paling tidak di akhir periode pemerintahan Presiden Jokowi sudah menuai hasil, baik dari sisi terciptanya lapangan kerja baru (kalau usaha kecil berhasil tentu membutuhkan 1 atau 2 orang pembantu, dan dikali sekian juta pelaku usaha menjadi jumlah yang amat besar), dan tentu akhirnya dari sisi peningkatan pendapatan perkapita serta berkurangnya jumlah penduduk miskin.