Sebulan berpuasa membuat saya merasa lebih sehat. Saat menimbang badan, alhamdulillah turun sekitar 2 kg. Tapi baru 9 hari berlebaran, mungkin karena terlalu banyak makan kue gurih dan juga lemak dari rendang Padang, membuat perut saya kurang nyaman. Saya memutuskan untuk konsul ke dokter langganan saya, seorang internis berinisial IH, yang praktek di sebuah rumah sakit di Jakara Timur.
Saya merasa bersyukur sekali bisa "berjodoh" dengan dokter IH tersebut. Selama pengalaman saya berkonsultasi ke sekitar belasan dokter, beliau yang paling asyik. Betapa tidak, IH yang juga pengajar FKUI tersebut menyediakan waktu yang relatif cukup untuk setiap pasien. Setelah memeriksa kondisi tubuh pasien, beliau menjelaskan diagnosanya dengan rinci tentang penyebab dan langkah penanganannya, meski tidak ditanya. Kalau pasien antusias, beliau tambahkan lagi hasil penelitian mutakhir terkait penyakit tersebut, pertanda beliau selalu mengup-date ilmunya. Lalu bila beliau meminta pasien ke lab untuk cek darah, item yang perlu dicek sewaktu menulis di formulir untuk lab, juga dijelaskan. Demikian juga dalam menulus resep obat, guna masing-masing obat dijelaskan termasuk efek sampingnya. Kalau ada beberapa alternatif merek obat, beliau bertanya pasien mau yang generik atau yang paten. Pokoknya begitu keluar dari ruang dokter, saya selalu puas. Pasien lain saya kira juga begitu.
Bertolak belakang dengan dokter IH, adalah dokter NA yang di tahun 1990-an menjadi dokter di poliklinik kantor tempat saya bekerja. Gak tau juga, apa karena dibayar rendah oleh kantor, atau karena sibuk praktek di tempat lain, beliau hanya memberi waktu 2 menit saja per pasien. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat hemat. Bahkan, menurut olok-olok teman kantor, begitu pasien masuk, beliau sudah menulis resep. Mungkin saking berpengalaman, sudah paham apa penyakit orang kantor tanpa cek kondisi tubuh pasien. Sudah begitu tulisan beliau sangat tidak bisa dibaca orang awam.
Tersebutlah dokter T, ahli jantung kondang di negara ini bertarif Rp 700 ribu sekali konsul. Tarif termahal praktek dokter yang saya tahu. Pasien harus daftar hari ini untuk jadwal sebulan mendatang. Praktek di sebuah rumah sakit di jalan protokol di Jakarta Selatatan, mulai jam 10 malam. Biasanya ada 50 sampai 60 pasien per malam, sehingga baru jam 2 dinihari beliau bisa istirahat. 3 kamar praktek langsung dipakai beliau secara paralel. Maksudnya biar hemat waktu. Saat yang satu tengah diperiksa, yang satu lagi tidur di ruang lain untuk diperiksa setelah itu. Sementara yang satu lagi di ruang lain lagi telah selesai diperiksa lagi beres-beres berpakaian sambil dijelaskan asisten beliau soal pemakian obat.
Saya beberapa kali menemani keluarga ke dokter T tersebut. Karena pendiam, keluarga saya tidak banyak dapat "ilmu" dari tarif yang dibayarnya. Hanya sekedar minta resep saja. Makanya setelah itu saya proaktif membawa perkembangan hasil lab dan bertanya tentang keluhan-keluhan yang ada. Artinya sebelum ke dokter T terlebih dahulu saya bertindak seperti dokter mewawancara dia. Nah dengan dokter sesungguhnya justru saya yang aktif bertanya. Hal ini saya lakukan agar worth it bela-belain ke dokter di tengah malam.
Berharap semua dokter seperti IH rasanya terlalu ideal. Saya anggap itu pengecualian, dan mungkin tidak sampai 10% dokter seperti itu. Dokter seperti NA berada pada ekstrim kiri yang paling juga 10%. Mayoritas dokter biasa-biasa saja, artinya perlu keaktifan pasien agar terjadi komunikasi yang efektif. Perlu juga etika dan sopan santun, karena dokter juga "manusia". Bisa capek, marah, malas, kesal atau bahkan galau. Makanya buat siapapun yang menjadi pasien, saya menyarankan agar juga mampu menjadi "dokter" sebelum konsul ke dokter beneran.
Untuk itu, kita harus rapi menyimpan medical record kita sendiri. Bila dokter kita mengarsip dokumen asli, maka sebelum konsul, kita copy dulu dokumen seperti hasil lab. Copy resep obat juga perlu disimpan. Sesekali cari info di media atau google terkait penyakit kita. Catat yg penting atau dikliping. Pas ke dokter, konfirmasikan referensi bacaan kita tadi. Mungkin ada jenis pemeriksaan lain yang kita usulkan. Mungkin ada jenis obat baru yang bisa kita mintakan pendapat dokter. Keluhan atau kejadian yang tidak biasa terhadap tubuh kita, dicatat untuk ditanya saat konsul. Prinsipnya, kita membayar untuk sesuatu layanan yang memuaskan. Tapi itu menuntut keaktifan kita sendiri. Jangan sudah ke luar ruang dokter baru ingat sesuatu untuk dikonsultasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H