Ada yang baru dalam tradisi berlebaran Presiden RI. Selama ini hari kemenangan yang dirayakan umat muslim di seluruh dunia itu, oleh Presiden kita, paling tidak sejak adanya Masjid Istiqlal di ibukota, identik dengan shalat ied di Masjid terbesar se Asia Tenggara tersebut. Lalu kemudian di jam yang telah ditentukan Presiden menerima ucapan selamat hari raya dari para pejabat tinggi, duta besar negara sahabat, pengusaha papan atas dan orang-orang terhormat lainnya. Kemudian sejak era Gus Dur masyarakat awam pun boleh datang ke istana untuk bersalaman dengan Presiden.
Namun, mulai lebaran tahun ini Presiden Joko Widodo memulai tradisi baru yakni berlebaran di daerah. Tahun ini beliau ber idul fitri di tanah rencong, Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak ada open house. Beliau justru akan berkeliling menyambangi masyarakat di beberapa tempat di Aceh. Tapi gaya lama tidak sepenuhnya hilang. Wapres Jusuf Kalla diberi tugas untuk mengadakan open house.
Kelihatannya bukan hal yang istimewa mengingat sejak jadi walikota Solo Pak Jokowi sudah sering blusukan. Tapi menjadi lain bila konteksnya dalam beridul fitri. Kalau rakyat mendatangi Presiden bisa dibaca sebagai rakyat mohon maaf atas kesalahannya kepada Presiden. Tapi kalau Presiden yang berkunjung ke rakyat bisa diartikan beliau meminta maaf atas kesalahan pemerintah kepada rakyat.
Terlepas dari benar-salahnya "bacaan" di atas, tradisi baru tersebut pantas untuk diapresiasi. Paling tidak untuk menghilangkan kesan "Jakarta sentris" atas suatu acara kenegaraan atau keagamaan. Toh, Indonesia terlalu luas untuk bisa direpresentasikan oleh Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H