Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Ketika Istri Sering Lembur

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428473500670116996

[caption id="attachment_408635" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Ngeri. Sungguh saya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang karyawati bank sepulang kerja lembur "dihabisi" suaminya sendiri sampai tewas. Dulu, kepada teman-teman karyawati yang lembur saya sering mengingatkan agar hati-hati naik angkutan umum atau taksi, karena pernah kejadian teman kantor saya ditodong dalam taksi dan tabungannya dikuras melalui kartu ATM. Sekarang, masak dalam sharing session, saya harus ngomong kira-kira begini, "Bagi teman-teman yang malam ini harus lembur, hati-hati, jangan sampai dihabisi suami setibanya di rumah" (di kantor tempat saya bekerja, setiap pagi dimulai dengan doa bersama, briefing tugas dan sharing session selama sekitar setengah jam).

Tulisan saya kali ini dilatarbelakangi oleh berita di koran Padang Ekspress edisi Selasa 7 April kemaren di bawah judul "Dibakar Cemburu, Dosen Bunuh Istri". Konon, cemburu suami yang berprofesi sebagai dosen tersebut, timbul karena si istri sering kerja lembur. Saya tidak tega menuliskan kembali kisah yang mengenaskan tersebut. Bagi pembaca yang terlambat mengetahui kejadian ini, silakan cari informasi yang bertebaran melalui internet. Saya hanya ingin sharing saja melalui beberapa catatan berikut ini.

Kalau Anda seorang karyawati yang pekerjaannya menuntut untuk sering-sering lembur, Anda memang dihadapkan pada situasi yang dilematis, antara taat sama suami atau taat sama atasan. Di lain pihak pilihan berhenti bekerja bukanlah opsi yang "disukai" perempuan zaman sekarang, baik karena alasan ekonomis maupun alasan pengembangan diri. Padahal status sebagai "ibu rumah tangga" tidak kalah mulia. Dalam hal ini ada beberapa saran yang mudah-mudahan membantu.

Pertama, komunikasi dengan suami tetap harus diutamakan. Jelaskan dengan baik kenapa harus lembur. Sesekali ajak suami menjemput ke kantor, atau kalau situasi memungkinkan suami juga ikut masuk ke ruang kerja dan menyaksikan sendiri seperti apa Anda bekerja sambil bersilaturahmi dengan rekan kerja dan atasan Anda. Ini penting untuk menghilangkan kecurigaan suami. Sekiranya ada kesalahpahaman, jangan biarkan berkembang menjadi dendam. Api yang masih kecil gampang dipadamkan.

Kedua, kalau lembur terlalu sering, dan suami terlihat keberatan, saatnya Anda ngomong baik-baik ke atasan, agar Anda diperkenankan sekali-sekali tidak ikut lembur karena ada keperluan keluarga. Terlalu sering lembur bisa akibat dari mismanagement yang harus dicarikan solusinya oleh atasan. Beban kerja yang overload harus dipreteli lagi satu per satu, apa karena sistemnya gak efisien, pekerjaannya yang lelet, atau justru sudah saatnya menambah pekerja baru.

Ketiga, tidak bisa dipungkiri, bahwa di kantor sering juga kita mendengar cerita beraroma perselingkuhan, dan kerja lembur bisa saja hanya sekedar alasan. Tentu dalam hal ini, lagi-lagi kalau Anda seorang karyawati, harus tahu batas, tahu garis demarkasi, yang kalau Anda lewati taruhannya bisa nyawa. Ambil contoh di sebuah bank (tak ada kaitan dengan kasus di awal tulisan ini). Saat ini banyak pejabat di cabang-cabang bank yang tidak bawa istri karena terlalu sering dimutasi sehingga istrinya memilih tinggal di home base-nya demi menjaga anak-anak. Iman si pejabat bisa saja kuat, tapi "imin"-nya bisa lemah juga melihat karyawatinya yang cakep-cakep, sampai lupa kalau si karyawati itu sudah punya suami. Nah, kalau Anda menjumpai bos yang sudah bergelagat aneh, tak ada jalan lain Anda harus memberi isyarat penolakan. Memang ada risiko, seperti kinerja Anda bisa dinilai jelek sehingga bonus Anda kecil. Tapi ya, gak apa-apa, sambil berharap bos Anda bisa sadar, atau bersabar 1 atau 2 tahun, biasanya bos Anda akan diganti lagi.

Keempat, tidak jarang seorang karyawati ditugaskan untuk "merayu" nasabah atau calon nasabah. Kembali, jangan sampai kebablasan, jangan sampai membuat affair dengan relasi bisnis. Kata kuncinya sama, tahu batas. Kalau nasabah atau calon nasabah Anda minta dilayani yang aneh-aneh, tolak saja, meski komisi Anda jadi berkurang. Kalau Anda berbuat yang tidak senonoh, akan tercium juga. Suami Anda bisa kalap. Anak-anak Anda akan menderita.

Kelima, kalau Anda seorang atasan, dan terpaksa menginstruksikan anak buah untuk lembur, Anda harus bertanggung jawab memastikan anak buah Anda bisa sampai di rumah dengan selamat dan tidak ada kesalahpahaman dengan keluarganya di rumah. Bagus juga kalau dalam acara kantor, suami/istri pekerja diajak ikut untuk saling bersilaturahmi, dan sekaligus sebagai forum bagi si bos untuk menjelaskan kesibukan di kantor termasuk tentang kerja lembur, kepada keluarga pekerja. Kalau anggaran mencukupi, adakan family day ke tempat wisata atau sekedar family gathering di restoran yang punya ruangan memadai.

Keenam, kalau posisi Anda sebagai suami dari seorang istri yang sering pulang dinihari karena lembur, maka rumus "padamkan api saat masih kecil" tetap berlaku. Bila istri Anda enggan dijemput, atau mulai main rahasia-rahasiaan di hape-nya, Anda harus memasang mata dan telinga ekstra. Bila ditemukan bau-bau orang ketiga, Anda harus segera bertindak. Bukan melakukan KDRT maksudnya, tapi komunikasikan dengan baik bahwa Anda tidak bisa menerima kondisi seperti itu. Kalau perlu lapor ke atasannya. Namun bila orang ketiga itu ternyata atasannya istri, Anda boleh melaporkan ke atasannya-atasan istri Anda. Jika marah Anda sudah sampai ke ubun-ubun, jalan "halal" meski dibenci Allah, adalah menggugat cerai. Itu sudah paling pol. Pertumpahan darah malah menambah beban Anda kelak. Anda masuk penjara, anak-anak teraniaya.

Ketujuh, kalau anda masih lajang, baik laki-laki maupun perempuan, dan berkarier di tempat yang mengharuskan sering lembur, jelaskan ke calon istri/suami Anda tentang konsekuensi pekerjaan Anda, agar pasangan Anda tidak kaget nantinya. Tentu, saat Anda bersanding di pelaminan, tidak sedikit pun tebersit di pikiran Anda, suatu saat kelak akan ada tindakan kekerasan dari/ke pasangan Anda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline