Lihat ke Halaman Asli

Irwan Lalegit

Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

Impian (Menjadi) Negara Maritim

Diperbarui: 7 Mei 2020   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Nelayan Tradisional di Kepulauan Talaud. Dokpri"][/caption]

“…Tiba-tiba ku tertegun, lubuk hatiku tersentuh,

Perahu kecil terayun, nelayan tua di sana,

Tiga malam bulan tlah menghilang,

Langit sepi walau tak bermega…”

 

Penggalan lirik lagu “Burung Camar” yang dipopulerkan Vina Panduwinata (diva pop musik) diatas mengambarkan betapa kerasnya kehidupan nelayan Indonesia, dan menyadarkan kita bahwa laut Indonesia yang maha luas dan kaya potensi itu, tentu menjadi tantangan terberat bagi para nelayan yang selama ini (tujuh puluh tahun merdeka) terus dibiarkan kalah bersaing dengan nelayan negara tetangga di kawasan ASEAN-Pasifik dalam penguasaan laut, pengelolaan kekayaan sektor kelautan dan perikanan.

Berlawanan dengan nelayan kita yang kebanyakan mungkin nasibnya miskin dan tradisional, mereka (nelayan negara tetangga) dilengkapi armada tangkap ikan terbaik, sarana-prasarana pendukung yang berkualitas minim korupsi, kemudahan perijinan dan akses modal usaha, serta kecangihan teknologi kelautan telah lama menjarah kekayaan laut kita. Karena menyadari potensi kelautan sebagai peluang masa depan, maka dengan dukungan penuh pemerintahnya, mereka jauh-jauh hari telah memodernisasi infrastruktur kelautan. Tak heran bila kebanyakan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan dan zona ekonomi eksklusif kita berasal dari Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Taiwan, China, Korea, Jepang, Thailand, Malaysia, Singapura, Australia, India, yang justru banyak dari anak buah kapalnya (buruh nelayan) dari Indonesia.

Selain kalah dalam penguasaan laut dan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, sejumlah data penelitian menunjukan bahwa ternyata peringkat konsumsi ikan serta produk olahan hasil perikanan kita sangat rendah bila dibanding negara-negara se ASEAN. Para peneliti keamanan pangan pun menjumpai sampel ikan di pasar, swalayan, restoran, atau rumah makan “sea food” di kota-kota besar yang dijual berformalin-berpengawet-berpewarna makanan. Adanya fenomena zat-zat berbahaya seperti itu mengindikasikan bahwa sektor perikanan dan kelautan kita sudah sedemikian parah dan perlu pembenahan.

Berkaca pada kenyataan diatas, semakin menegaskan bahwa kita makin kehilangan jati diri sebagai bangsa pelaut ulung, karena kita pun telah melemah dalam diplomasi laut, dan pernah kalah telak mempertahankan pulau Sipadan dan Ligitan.

Sehingga kalau ternyata negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia ini dijuluki negara pengimpor ikan, tentu yang harus disalahkan adalah pemerintah. Bahwa ada yang salah dalam kebijakan pemerintah dalam mengelola sektor kelautan kita selama ini. Tapi mengutuk ketidakberpihaknya penentu kebijakan dan terus meratapi mirisnya kehidupan nelayan, tentu bukan tindakan yang bijaksana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline