Lihat ke Halaman Asli

Irwan Lalegit

Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

5 Alasan Mengapa DPR Harus Segera Mengesahkan RUU Kepalangmerahan di Tahun 2016

Diperbarui: 6 Maret 2016   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pin Sahkan RUU Kepalangmerahan PMI"][/caption] 

1.      Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, kewajibannya mana?

Indonesia telah menjadi peserta agung (pihak) Konvensi Jenewa Tahun 1949 (International Conventions for the Protection of Victims of War) dengan meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Keikutsertaan Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 (Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 1958), sehingga menjadi ketaatan dan kewajiban bagi Indonesia untuk menerapkannya dalam sistem hukum nasional.

Namun sejak diberlakukannya Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 tersebut, pengaturan mengenai kepalangmerahan belum juga diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Padahal pengaturan tersebut sangat penting tujuannya untuk memberikan jaminan penghormatan dan perlindungan bagi mereka yang menggunakan lambang-lambang kepalangmerahan (pembeda) baik pada saat bertugas dalam situasi konflik bersenjata, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan maupun pada masa damai.

Tidak adanya pengaturan yang sah, jelas, tegas, pasti dan mengikat mengenai lambang kepalangmerahan ini menyebakan Indonesia dijuluki sebagai negara hukum yang lebih sering ikut melakukan ratifikasi hasil-hasil perjanjian internasional karena keterpaksaan, dan bukan karena kesadaran untuk mengikatkan diri. Sebab selama ini ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional kerap hanya berhenti sampai di instrumen ratifikasi, karena sesudah itu, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kurang serius melakukan tindak lanjut seperti melakukan transformasi kewajiban perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional, melakukan sosialisasi kepada aparatur penegak hukum di semua tingkat, menyediakan infrastruktur pendukung hingga melakukan upaya untuk mengubah budaya (tertib) hukum di masyarakat.

Bahwa karena sudah lebih dari 47 tahun sejak Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 diberlakukan, dan karena sudah lebih dari 192 negara pihak penandatanganan Konvensi Jenewa Tahun 1949 telah memiliki Undang-Undang Kepalangmerahan, maka inilah kesempatan bagi DPR untuk menunjukkan komitmen dan kinerja legislasinya di tahun 2016 ini dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kepalangmerahan menjadi Undang-Undang Kepalangmerahan.

 

2.      Belum Ada Undang-Undang yang Mengatur Aktivitas Kepalangmerahan PMI!

Sudah 70 tahun lebih PMI berkontribusi aktif dan produktif dalam aktivitas kepalangmerahan berdasarkan 7 (tujuh) prinsip dasar-universal gerakan kepalangmerahan, namun belum satu pun ada undang-undang yang mengaturnya. Padahal undang-undang itu merupakan kebutuhan hukum yang sangat mendesak bagi masyarakat dan tentu saja bagi PMI, karena sebagai organisasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk menjalankan kegiatan kepalangmerahan menurut Konvensi Jenewa tahun 1949, PMI wajib dilengkapi dengan undang-undang yang memberi arah, landasan dan kepastian hukum.

Apalagi lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah paling banyak disalahgunakan sebagai merek suatu produk barang, jasa, nama suatu badan hukum tertentu, reklame dan/atau iklan komersial tanpa konsekuensi sanksi hukum, dan ini telah menyebapkan terganggunya perlindungan, penghormatan serta menimbulkan ketidakpercayaan seluruh komponen masyarakat terhadap aktivitas kepalangmerahan yang dilakukan oleh PMI.

Selama ini penggunaan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta aktivitas kepalangmerahan PMI didasarkan pada:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline