Awal kisah tak tahu awal dan ujungnya, kupahami bahwa ini garis tuhan yang menjadi ketetapan bagi setiap individu. Bahwa kuduga ia akan menjadi ruang pendidikan untuk menuntaskan apa yang selama ini diwacanakan.
Bertahun-bertahun kupelajari, kuhayati, kudalami setiap ajarannya dari waktu ke waktu yang kontribusinya membangun peradaban tak lekang waktu. Pada akhirnya jatuh cinta dan memilih jalan ini setelah perenungan dan penalaran panjang.
Akhirnya kata-kata yang sering diucapkan oleh para penceramah kembali bergejolak. Bahwa berharap potensi berujung kecewa. Apa yang kubayangkan dan kuharapkan sepertinya paradoks. Apakah sedang kecewa atau hanya proses dialektis atas realitas ini, pertanyaan itu terngiang-ngiang. Tetapi yang pasti benih kekecewaan itu ada.
Rasa ingin berhenti kadang terbersit dalam hati, namun belum kuindahkan. Tetapi perasaan itu sering kali muncul, ia bergejolak. Ketika berhenti tapi terlanjur cinta ya artinya pengecut. Namun tetap saja rasa itu ada, sebab manusia mahluk berfikir dan punya rasa.
Ini bukan tentang kata-kata tuhan dibalik kesulitan ada kemudahan, tapi ini adalah perjuangan yang diajarkan namun sepertinya akan dihianati. Ingin berhenti namun komitmen telah diucapkan apapun kondisinya. Mereka mendidik, mereka pula meninggalkan dan menghianati.
Bermental elit telah mendarah daging, sangat jauh dari suri tauladan yang telah ditinggalkan oleh pendahulu. Semoga rahmat ilahi melimpahi atas apa yang mereka telah tinggalkan.
Namun ya inilah adalah romantika hidup. Apakah tetap akan bertahan dijalan ini, kedepan kita lihat. Tetapi yang pasti dimanapun perjuangan ini harus tetap dilanjutkan. Semoga rahmat ilahi pelimpahi perjuangan kita.
Nilai itu telah jauh melangit meninggalkan bumi. Menjadi utopis namun masih saja dijadikan pemanis untuk melanggengkan kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H