Lihat ke Halaman Asli

Irwan Firman

Sang Pemimpi yang mengagumi kabut

Resensi Buku: Seribu Tahun Cahaya, Novel Fiksi Ilmiah Indonesia

Diperbarui: 20 September 2024   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: blibli.com

Judul Buku: Seribu Tahun Cahaya

Pengarang : Mad Soleh

Penerbit      : Pustaka Bimasakti

Cetakan       : I, 2009

Tebal            : v + 245 hal.

Sebagian besar isi cerita dalam novel ini 'garing', 'jayus' alias tidak lucu. Bahkan saya ingin menertawakan diri saya sendiri yang berusaha keras mencari di mana sesungguhnya sisi humoris novel ini. Pada mulanya saya ingin langsung menutup lembaran novel ini dan menaruhnya di atas lemari, tetapi saya merasa sayang terhadap uang sebesar empat puluh ribu yang saya gunakan untuk membeli novel ini. Dengan terpaksa saya melanjutkan membaca novel ini selembar demi selembar.

Kesabaran saya menuai hasil. Setelah beberapa lama, bibir saya mulai mengembang, tulang pipi saya merangkak naik ke atas, dan mata saya menjadi agak sipit. Saat itulah, saya baru dapat tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya bagian yang sangat menghibur  saya adalah (Wo) men Cloud the Mind sampai dengan bagian Sambar Geledek yang mengisahkan pencarian Bahlol terhadap pujaan hatinya yang tak lain adalah Siti, teman antariksawatinya dahulu. Tapi memang, untuk merasakan kelucuan pada bagian ini minimal pembaca harus mengetahui alur cerita sebelumnya.

Bisa diprediksi novel ini tidak akan laku di pasaran karena pada umumnya masyarakat kita lebih terbiasa mendapatkan nuansa humor dengan cara yang simpel dan tidak repot. Cukup dengan menekan tombol pada remote televisi, acara humor yang menarik sudah bisa mereka dapatkan. Tanpa harus membaca novel yang tebalnya mencapai dua ratus lebih halaman. Oleh karenanya saya menyarankan, bila Mad Sholeh ingin menghadirkan bacaan humoris alangkah baiknya bila disajikan berupa buku saku yang mudah dibawa ke mana-mana. Atau kalau pun tidak, ilustrasi/gambar yang disajikan jangan terlalu sedikit. Minimal mewakili isi cerita dalam novel. Hal ini ini menjadi penting terutama bagi pembaca yang memiliki banyak kesibukan yang mengharuskan dia membaca dengan cepat.

Sebagai pembaca saya sangat menyayangkan ketika Mad Soleh menghadirkan nama-nama tokoh seperti: Bahlol, Tong Koo Song, John Lemon, Siti Nurhalida, Cui Lan Cuo, Yok Opo Iki, dan tokoh lainnya. Meskipun nama-nama tersebut mewakili karakter yang ditokohkan, alangkah lebih baik bila nama tokoh dan karakternya berdiri sendiri dan tidak dikaitkan dengan istilah bahlol yang berarti bodoh, tong kosong (banyak bicara) atau orang-orang terkenal seperti John Lenon dan Siti Nurhaliza. Belum lagi nama-nama tempat dan negara yang Mad Soleh plesetkan. Seharusnya Mad Soleh tak perlu ragu menyebutkan Amerika sebagai pihak antagonis tanpa memplesetkannya menjadi negara tanpa merica. Bukankah film-film buatan Amerika sering menyudutkan negara-negara lain sebagai pihak antagonis?

Saya terpesona dengan cara Mad Soleh menggambarkan Indonesia di masa depan. saat itu Indonesia unggul dibanding negara lain terutama dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, politik, diplomasi luar negeri, infrastuktur dan teknologi antariksa. Tapi sangat disayangkan pada masa itu belum muncul tim sepakbola Indonesia yang tangguh, apalagi pembalap moto gp Indonesia yang handal dengan sponsor utama Pertamina. Padahal kedua olahraga itu menjadi impian masyarakat Indonesia bila putra bangsanya tampil ke atas podium teratas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline