Lihat ke Halaman Asli

Irwan Saputra

Petualang

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum dalam Qanun Jinayat

Diperbarui: 3 Januari 2021   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi badan hukum (www.dosenpendidikan.co.id)

Makalah ini bertujuan untuk melihat dasar penentuan badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum dilihat dari konsep bidimensional.

Badan hukum atau korporasi sebagai subjek hukum tidak dikenal dalam hukum Islam klasik. Subjek hukum dalam hukum Islam adalah individu atau disebut (mahkum alaihi) atau orang yang telah dibebani hukum.

Orang-orang yang yang sudah mampu menerima beban hukum ini disebut mukallaf dimana segala bentuk kewajiban, tanggung jawab, hak kebendaan, dan lain sebagainya ditujukan kepada individu sebagai subjek hukum. 

Namun, dengan seiring berkembangnya zaman subjek hukum mengalami perkembangan seperti halnya yang terdapat dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, sehingga terjadi pergeseran makna subjek hukum antara ilmu ushul fiqh dengan perundang-undangan hukum Islam.

Qanun Jinayah yang lahir dari amanat Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan bagian dari hukum Islam yang diterapkan di Aceh. Ruang lingkup pemberlakuan qanun ini meliputi, pelaku jarimah, jarimah, dan uqubah (hukuman). Sedangkan jenis jarimah meliputi khamar, maisir, khalwat, ikhtilat, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musaqahah. 

Makalah ini bertujuan untuk melihat dasar penentuan badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum dilihat dari konsep bidimensional.

Subjek Hukum

Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah yang disebut mukallaf. Khitab atau tuntutan Allah tersebut dapat berupa hukum taklifi maupun wad`i. Hukum taklifi meliputi ketentuan wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan hukum wad`i meliputi ketentuan sebab, syarat, dan mani’.

Dalam definisi ini, mahkum ‘alaih hanya dipahami kepada orang saja, tidak termasuk di dalamnya badan hukum. Istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline