Lihat ke Halaman Asli

Irwan Saputra

Petualang

Ancaman Hukuman Tinggi Menjamin Berkurangnya Tingkat Kriminalitas?

Diperbarui: 13 Oktober 2020   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anggota Komisi I DPR Aceh, Darwati A Gani dari Partai Naggroe Aceh (PNA) mengatakan jika lembaganya bakal mengkaji kembali terkait hukuman cambuk kepada pelaku pelecehan seksual (pencabulan) dan perkosaan di Aceh. 

Menurutnya, hukuman cambuk yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 6Tahun 2014 selama ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku. "Penggunaan qanun jinayah telah membuat pelaku pencabulan dan perkosaan lebih banyak dihukum cambuk, bukan dihukum penjara atau denda," begitu kata Darwati pada AJNN.Net Senin 12 Oktober 2020.

Apa yang disampaikan oleh Darwati A. Gani dapat disimpulkan sebagai harapan banyak pihak termasuk saya secara pribadi. Kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Qanun Jinayat Aceh terkait pemerkosaan dan pelecehan seksual banyak dinilai menguntungkan pelaku dan merugikan perempuan, sehingga dorongan untuk menambah efek jera terhadap pelaku dinilai banyak pihak adalah keharusan. Salah satunya adalah melalui mekanisme legislatif review. 

Potret kekerasan dan pelecehan seksual di Aceh memang cukup mengkhawatirkan, data yang saya kutip dari  Flower Aceh sepanjang Januari-Juni 2020 terdapat 20 kasus kekerasan terhadap anak dan 179 kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh. 

Begitupun P2TP2A Aceh lebih rinci menyebutkan, ada 3 bentuk kekerasan tertinggi yang dialami anak dan perempuan di Aceh. 1) Pelecehan seksual 69 kasus, 2) Pemerkosaan 33 kasus, dan 3) Kekererasan psikis 58 kasus. 

Sementara kekerasan terhadap perempuan di Aceh selama 2020 tercatat. 1) Pelecehan seksual tercatat 17 kasus, 2) Pemerkosaan 9 kasus, 3) KDRT 112 kasus, 4) Kekerasan psikis 90 kasus, 5) Kekerasan fisik 55 kasus, dan 6) Kekerasan dalam bentuk penelantaran ekonomi dan lain-lain. Potret ini tentunya cukup mencoreng wajah penegakan hukum Islam melalui Qanun Jinayat di Aceh yang berazaskan pada keislaman. 

Asas keislaman di sini dimaknai bersifat bidimensional dimana pertanggungjawaban pidana oleh pelaku tidak hanya bersifat horizontal (pada publik) melainkan juga bersifat vertikal (ilahiah). 

Banyak elemen masyarakat selama ini juga mendorong aparat penegak hukum dan pengadilan dalam menangani dan mengadili kasus-kasus pelecahan dan pemerkosaan terhadap anak dan perempuan menggunakan delik pidana umum. 

Tujuannya agar efek jera dapat lebih diarasakan oleh pelaku dan shock terapi kepada publik lebih dapat dirasakan shingga akan menimbulkan ketakutan untuk melakukan hal serupa. 

Namun hal itu hemat saya tentunya tidak dapat dilakukan, dan jikapun dipaksakan maka akan menyalahi aturan hukum dimana pelecehan seksual dan pemerkosaan khususnya untuk umat muslim di Aceh berlaku rezim hukum jinayat yang merupakan kekhususan (lex specialis derogat legi generalis) yang diberikan melalui turunan UU NO 11 Tahun 2006 terkait kewenangan penegakan hukum Islam di Aceh. 

Pemberatan hukuman terhadap pelaku pelecehan dan pemerkosaan di Aceh memang perlu dilakukan, apakah melalui judicial review ke MA sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 atau melalui Legislative Review. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline