Lihat ke Halaman Asli

Sketsa

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sketsa

Ketika beberapa hari lalu, saya bertemu sahabat saya, yang kebetulan sedang mempersiapkan gugatan hukum kepada seorang gubernur karena si gubernur ternyata tidak menepati janji politik yang mereka sepakati bersama, saya menjadi risau. Kenapa risau? Karena ternyata istilah bahwa “dalam politik, janji adalah strategi” yang kerap diucapkan oleh seorang senior yang saat ini telah beristirahat tenang di alam baka, menjadi benar adanya. Sang gubernur, yang nyata-nyata telah menandatangani kontrak politik, akhirnya ingkar juga. Ironisnya, gubernur itu populer, banyak disukai rakyat karena gayanya yang egaliter, merakyat dan saat-saat ini bahkan sedang melaju menjadi calon presiden.

Dikediaman sahabat saya yang berhalaman luas, berkolam renang dan dipagari tembok tinggi itu, saya sempatkan membaca kontrak politik yang kemudian akan membawa sang gubernur menjadi pesakitan di pengadilan sebagai terdakwa, walaupun hanya untuk sebuah kasus cidera janji yang masuk dalam ranah hukum perdata.

Bukan masalah hukum atau gugat menggugat yang merisaukan saya. Persoalan politisi ingkar janji politik lah yang membuat saya gundah, karena menurut saya inilah sumber malapetaka tingginya ketidakpercayaan rakyat kepada politik. Rakyat, kita, anda, kemudian merasa bahwa ketimbang makan janji palsu lebih baik ‘beli putus” saja. Politik menjadi barang mahal karena untuk menjalankannya membutuhkan dana besar, praktik biaya tinggi menggejala.

Mas Joko, sebut saja begitu nama sang gubernur, memang belum tentu melakukannya dengan sengaja, tapi apapun alasannya, ia telah mengabaikan janjinya, apalagi janji itu disanggupi kepada pihak yang telah berjibaku, memeras keringatnya untuk pemenangan dirinya. Logika kita kemudian berputar selaras secara sederhana, kalau kepada orang yang telah membantunya saja ia tidak mau perduli apalagi kepada orang lain yang tidak melakukan apa-apa kepadanya, walaupun itu sebatas pemenuhan sebuah janji. Pemimpin bukan tukang sawer, itu saya setuju, tetapi ia harus royal, diharamkan pelit, kepada siapapun termasuk orang-orang yang bahkan tidak memilihnya ketika dibilik suara. Kikir bukan hanya pada harta, tetapi juga kikir terhadap perhatian, pemenuhan janji-janji dan kewajiban yang layaknya harus seorang pemimpin tunaikan.

Hari ini sang gubernur dikemas seakan-akan tanpa dosa. Para pendukung dan tim suksesnya mengeluk-elukannya laksana sedang berkhidmat pada seorang mesias. Saya menjadi tambah risau. Karena jangan-jangan setiap orang yang ingin menggugat janji sang gubernur bisa dianggap sedang menghambat pencalonannya sebagai presiden. Kampanye hitam, istilah terkininya, begitu biasanya langsung disematkan kepada mereka yang melakukan gugatan dan bahkan untuk sekedar berkeluh kesah.

Politik memang kemudian diposisikan hanya dua warna, hitam dan putih. Kalau calon yang kita sukai pasti kita “putih-putihkan”, sebaliknya lawannya akan terlihat hitam sehitam-hitamnya. Seperti ada peringatan keras “hey kau, jangan sekali-kali kau menolak calonku, karena calonku lah yang paling benar, paling baik. Kalau engkau tidak mendukungnya maka engkau adalah musuh kami !!”. Sungguh mengerikan tetapi sekaligus menggelikan.

Baiklah saya teringat kepada seorang calon presiden yang lain. Nah untuk yang ini tidak kalah mengerikannya. Kenapa begitu, karena saya menyaksikan langsung bagaimana sang calon seperti orang yang amnesia, lupa berat, bahayanya lupanya kepada jasa orang lain.

Lebih dari tujuh bulan lalu, saya berkesempatan membantu serang anak muda yang cerdas dan kebetulan karena kedekatannya dengan sang calon presiden yang pucuk pimpinan sebuah partai lalu diminta untuk menjadi seorang calon anggota parlemen. Ketika saya memulai pekerjaan itu, saya awalnya berkeyakinan bahwa hubungan yang sudah seperti seorang paman dan kemenakannya itu dapat setidaknya memberi jalan aman bagi si anak muda ketika melakukan proses pemenangan. Tetapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Karena yang terjadi kemudian adalah justru sebaliknya. Si pemuda yang karena pergerakannya yang masif, sikapnya yang egaliter dan kemudian menciptakan gelombang dukungan banyak massa pemilih, justru tidak mendapatkan dukungan apapun. Sang capres, justru seperti tidak perduli. “Jangan-jangan ini hanya untuk meningkatkan kekuatan mental dan memberikan situasi yang fair”, begitu mulanya saya berprasangka baik. Tetapi lama-kelamaan situasi bukan lagi itu. Hal itu digenapi diakhir pemilihan, dimana sang capres dalam kapasitasnya sebagai pucuk pimpinan partai justru sama sekali tidak menunjukkan pemihakan kepada si anak muda yang bekerja banting tulang dan karena kerja kerasnya berhasil meraih suara yang tidak sedikit.

Kenapa bagi saya ini mengerikan? Karena dari si pemuda saya mendengar bahwa suatu ketika di tahun 1998, ketika sang capres diberhentikan dari kedinasan tentara karena friksi faksional dalam tubuh tentara. Sang capres yang kala itu ‘berhenti’ dengan bintang tiga di pundaknya, menjadi kesepian. Sang pemuda inilah yang kala itu baru berusia 10 tahun, yang sudi tetap mau menemani sang capres. Suatu kondisi yang bagi saya adalah kondisi luar biasa, mengingat hampir tak ada yang sudi mendekati sang capres, ia laksana penyandang kusta.

Lalu dimana logikanya ketika sang anak 10 tahun yang 15 tahun kemudian diperintahkannya maju nyaleg, tetapi lalu diposisikan seperti orang lain yang tidak pernah melakukan apa-apa baginya. Dimana penghargaan itu? Dimana ingatan tentang jasa? Saya menjadi bingung tak habis pikir. Bukan perkara menang atau kalahnya si pemuda, bagi saya yang mengikuti betul perjalananya, saya pikir dialah satu-satunya caleg yang sesuai arahan sang capres lalu membentuk relawan, melatihnya dan kemudian diperlengkap dengan turun ke basis-basis, live-in. Si pemuda, yang walaupun berkelimpahan harta tidak duduk manis main handphone dan nunggu di tikungan lalu ngemplang suara partai menjadi suara dia. Kalaupun kalah, suaranya tidak kecil, dan itu diraihnya dengan cara-cara yang benar. Dengan kata lain, dia hanya dikalahkan oleh “angka” yang karena genit lalu berubah-ubah sesuai si pemesan.

Melalui dua contoh itu, saya ingin menyampaikan, bahwa saya yang malang melintang dalam aktivitas politik sejak mahasiswa, menjadi kehilangan pilihan. Siapa yang layak pilih? Keduanya tak mampu mengapresiasi jasa orang lain. Bahkan kepada orang-orang yang telah melakukan hal-hal penting dalam sejarah hidupnya. Mereka dibutakan oleh kepentingan politiknya semata. Almarhum kakek saya pernah bilang, bahwa orang yang lupa jasa orang lain itu kelasnya diatas pengkhianat. Untuk itu saya setuju seribu persen.

Teringat saya pada kisah kematian Julius Cesar yang ditikam sepupunya sendiri, Brutus. Semua orang, termasuk kita, sampai saat ini mungkin masih beranggapan bahwa Brutus adalah pengkhianat bagi Cesar, karena pembunuhan itu. Saya tidak. Saya yang mungkin karena keliaran otak saya, lalu menempatkan seorang panglima perang Cesar bernama Marc Anthony sebagai pengkhianat kelas berat. Mengapa? Bukan karena ia terlibat dalam pembunuhan Cesar, tetapi karena ia diam-diam bernafsu ingin meniduri dan bahkan memiliki Cleopatra, perempuan Mesir yang membuat Cesar tergila-gila hingga lalai untuk memikirkan kerajaannya di Roma. Betapa tidak, karena Marc adalah kesayangan Cesar. Semua yang diinginkan Marc selalu diwujudkan Cesar, sampai kemudian hampir tak ada rahasia Cesar yang tidak diketahui Marc. Terlalu banyak jasa Cesar yang telah diterima Marc sehingga hampir tak ada apologi baginya untuk memiliki nafsu binatang kepada milik Cesar yang paling berharga, Cleopatra. Kealpaan Marc pada jasa Cesar itulah yang bagi saya lebih hina daripada kebuasan Brutus karena membunuh Cesar. Lupa kepada jasa lebih busuk ketimbang pembunuhan. Karena sebutir debu sekalipun budi orang lain di masa lalu, diyakini ikut andil dalam tetap tegak berdirinya kita saat ini. Mudah-mudahan kedua capres ingat satu hal, bahwa sejarah tidak pernah berpihak kepada penghianat-penghianat. Sejarah mencatat Jesus, bukan Judas Escariot. Mencatat Muhammad, tidak Abu Sofyan. Kita doakan saja keduanya segera insyaf sebelum mereka terbuai dalam mimpi menjadi presiden sebuah republik sebesar Indonesia. Semoga.

Ditulis ketika tak ada yang menarik lagi dari pemilihan presiden

Suatu Shubuh, 16 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline