Jangan bayangkan seperti gigi Yuemingjen yang masih utuh (dalam gambar PP). Gigi geligi saya sudah habis di makan usia. Beberapa biji lagi yang masih setia bertengger di gusi meski itupun sudah banyak yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik alias bolong-bolong.
Nah kondisi salah satu gigi yang memang kurang perawatan itu akhirnya mengalami pelubangan yang cukup membuka syaraf yang mengakibatkan rasa sakit dan abses. Dan untuk itu seharusnya sih sudah dibawa ke dokter gigi buat dicabut.
Tapi eh tunggu dulu, soal cabut-mencabut gigi ini merupakan pengalaman terburut buat penulis dan menimbulkan trauma yang cukup mendalam.
Sepanjang pengalaman mencabut beberapa gigi, sepertinya para dokter gigi mebutuhkan tenaga ekstra agar gigi saya lepas dari sarangnya. Pernah jaman lagi belajar dulu, seorang dokter gigi mengatakan bahwa akar gigi saya bengkok dan dianjurkan dironsen terlebih dahulu.
Ada satu pengalaman aneh selama mencabut gigi. Meski masih waswas, ketika akan mencabut gigi, kepada drg Tengku (di Banda Aceh, maaf lupa namanya) saya katakan bahwa gigi saya itu susah dicabut karena akarnya bengkok. Nah kemudian dengan jadwal yang ditentukan saya disuruh menemuinya di rumah sakit untuk kemudian dironsen. Setelah itu pada waktu prakteknya, pelaksanaan pencabutan si mahluk gigi ini pun dimulai. Setelah disuntik kebal, disuruh tunggu, akhirnya waktupun tiba. Apa yang terjadi? Gigi telah tercabut tanpa merasakan apa-apa.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya menganggap dunia kedokteran gigi telah mengalami kemajuan yang pesat. Dengan keyakinan itu, beberapa tahun yang lewat, karena sudah kembali ke kota asal, saya mendatangi dokter gigi askes untuk kembali mencabut gigi tanpa mengatakan bahwa gigi saya susah dicabut. Tapi apa yang terjadi? Ala mak, ternyata gigi saya memang masih susah dicabut. Dunia kedokteran gigi ternyata belum mengalami kemajuan (atau dokter giginya yang tidak mengikuti perkembangan?).
Jadi, kembali ke gigi berlubang yang sekarang akan dicabut, saya masih ragu untuk mengunjungi dokter gigi. Mungkin nanti kalau sudah dalam keadaan darurat 3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H