Lihat ke Halaman Asli

IRWAN ALI

Peneliti di Lingkar Data Indonesia

Pilkada untuk Siapa?

Diperbarui: 2 Oktober 2020   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Sumber: Sindonews.com

Kira-kira sekitar 19 abad yang lalu di Roma-Italia, dibangun sebuah tempat pertunjukan besar berbentuk elips yang disebut Flavian Amphitheatre. Bangunan yang kemudian lazim dikenal dengan nama koloseum  diperuntukkan sebagai gelanggang tarung para gladiator. Pada gelanggang yang didesain terbuka itulah gladiator mementaskan gerak tari kematian diiringi tawa terkekeh kaum bangsawan dan kaum kaya dari tribun VVIP. Ya, pertunjukan maut itu memang diciptakan untuk menghibur kaum bangsawan dan golongan kaum kaya ketika itu.

Jika koloseum dirancang sebagai gelanggang tarung para gladiator untuk menghibur kaum bangsawan dan golongan kaya, lalu pilkada dirancang untuk siapa?

Untuk oligarki? Atau jangan-jangan serupa dengan koloseum, dirancang untuk sekadar menghibur dan mengakomodasi kepentingan elit, bangsawan, dan kaum kaya?

"Seharusnya tidak senaif itu," celutuk seorang kawan dalam sebuah obrolan senja di salah satu warkop. Sambil menyuruput segelas kopi yang keburu dingin, ia berceramah setengah orasi tentang konsep ideal Pilkada. Maklum, kawan ini semasa mahasiswa memang seorang orator ulung. Jadi kubiarkan saja ia berceloteh panjang lebar. Anggap saja sedang bersedekah, memberinya ruang orasi. Saat memaparkan sejumlah argumentasi dengan intonasi meledak-ledak, kubisikkan sesuatu ditelinganya. "Pelankan sedikit suaramu, kawan!"

***

Wacana seputar mahalnya biaya pilkada langsung akhir-akhir ini memang sedang hangat menjadi bahan obrolan. Mulai dari nominal kas APBD yang terkuras untuk membiayai proses dan tahapan pilkada sampai sekeranjang duit yang mesti disiapkan pasangan calon kepala daerah untuk membiayai kampanye. 

Tidak berhenti sampai di situ, wacana pun beranak pinak. Bak Virus Corona yang konon berkembang biak demikian cepat dengan cara membelah diri, wacana menyasar potensi korupsi kepala daerah, keterlibatan cukong, hingga kesimpulan gegabah dari kaum yang mengaku cerdik pandai tentang calon kepala daerah yang katanya ideal ketika berasal dari kaum kaya.

Adalah seorang Tito Karnavian, orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri yang pertama kali melontarkan sorotan terhadap besarnya biaya Pilkada Langsung yang ditanggung oleh Negara, termasuk yang digelontorkan oleh pasangan calon kepala daerah.

Tito mengangkat contoh di Pilkada Garut, untuk tahapan pemutakhiran data pemilih saja sudah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.

"Sebagai contoh kasus di Kabupaten Garut, pada Pilkada 2018 melibatkan 4719 orang petugas pemutakhiran data (PPDP) sama dengan jumlah TPS. Jika satu orang PPDP dibayar Rp 500.000 saja, maka dibutuhkan dana sebesar Rp 2.359.500.000 (dua miliar, tiga ratus lima puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah). Besar bukan? Belum ditambah atribut PPDP, ATK petugas PPDP, biaya rapat-rapat petugas tingkat desa/kelurahan (di Kabupaten Garut terdapat 442 desa/kelurahan), rapat-rapat petugas tingkat kecamatan atau PPK (di Garut terdapat 42 Kecamatan)," ujar Tito seperti dikutip detik.com.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline