Menyandang status sebagai pemuda itu adalah hal yang membanggakan sekaligus mencemaskan.
Membanggakan karena ada begitu banyak literatur yang memuat tentang eksistensi dan peran cemerlang pemuda dari zaman ke zaman. Pemikir-pemikir hebat bahkan menobatkan pemuda sebagai ‘Pemimpin Perubahan’. Sebutlah salah satunya tentang pernyataan Bung Karno yang katanya siap mengguncang dunia hanya dengan bantuan 10 orang pemuda.
Secara denotatif, pernyataan Bung Karno itu mungkin terdengar hiperbolik, alias melebih-lebihkan. Tapi cukup masuk akal disebut sebentuk keyakinan atas potensi yang dimiliki oleh pemuda.
Pemuda sering dipersepsikan sebagai kelompok kritis, progresif, energik, dinamis, terpelajar, dan solutif. Persepsi ini kemudian membentuk poposisi bahwa mereka adalah kelompok yang selalu siaga di beranda zaman. Kepadanya diserahkan tanggung jawab sebagai jembatan yang menyambungkan potongan zaman. Karenanya, ia harus selalu siap menjawab tantangan yang disajikan zaman.
Pemuda mana yang tidak bangga atas pengakuan sejarah ini? Saya misalnya, meskipun usiaku telah beringsut diam-diam melewati ambang batas definisi pemuda, tetapi tetap saja menganggap sebagai bagian dari pemuda yang merasa punya hak atas rasa bangga itu.
Sebenarnya saya kurang setuju dengan pembatasan definisi pemuda hanya dari sudut pandang usia. Sebab secara substansi pemuda menurutku adalah mereka yang memiliki ciri-ciri seperti disebutkan di atas. Muda secara usia tetapi terkulai lemas di pojok peradaban tentu bukanlah sosok pemuda yang dimaksudkan oleh Bung Karno. Mengutip penggalan kalimat Ketua KNPI Sulsel, Imran Eka Saputra dalam sebuah pidatonya bahwa pemuda harus memiliki nilai daya saing.
Bagi pemuda yang memuliakan nalarnya akan segera tahu bahwa rasa bangga bukanlah satu-satunya nilai yang diwariskan oleh sejarah. Hal lain yang turut merangsek masuk dalam wacana kepemudaan adalah kecemasan. Cemas adalah reaksi psikologis atas ragam tanya terkait kesanggupan kita sebagai pemuda dalam menjaga warisan nama baik sejarah pemuda.
Sanggup atau tidak, jawaban secara lugas mungkin tak segera ditemukan. Tetapi dengan mencermati bagaimana pemuda mengeksplorasi gagasan dan perannya brangkali bisa memberikan gambaran atas kemungkinan jawaban yang akan tercipta.
Kata kunci dari sebuah peran adalah totalitas. Layaknya piala oscar, penghargaan ini akan diberikan kepada aktor/aktris, bukan karena derajat sosial tokoh yang diperankannya. Tetapi pada totalitas peran yang ia lakukan. Maka, derajat totalitas peran akan berkorelasi dengan sanggup tidaknya pemuda menjaga warisan.
Pemuda Itu Bernama TSY
Namanya Tomy Satria Yulianto. Lahir di Bulukumba pada 14 Juli 1974. Ia telah memilih jalan politik sebagai ruang untuk mengeksplorasi gagasan dan peran kepemudaannya. Dari ruang itu ia menjalankan perannya sebagai penjaga warisan.