Gemerlap perayaan pergantian tahun telah berlalu. Kini tahun baru 2016 sedang di tapak. Sejuta harapan menyertai tapak pijak kaki kecil kita di awal tahun ini. Harapan paling sederhana adalah semoga di tahun 2016 ini keadaan kita lebih baik dari tahun sebelumnya. Minimal bisa makan, sekolahkan anak, dan merasakan keadilan.
Meskipun sedkit agak pesimis, tetapi mau tidak mau harapan-harapan kecil tadi tetap harus kita sandarkan pada Negara, tempat dimana kita bernaung. Negara adalah institusi yang paling bertanggung jawab atas pemenuhan harapan-harapan rakyatnya. “Tujuan terakhir setiap Negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (Bonum publicum, common good, common weal,” kata Prof. Miriam Budiardjo. Harold J. Laski pun bertutur serupa, bahwa tujuan Negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.
Sayang sekali, pendapat para pakar itu tak lebih dari sekadar naskah akademik basi yang berdebu. Teori-teori tersebut terjungkal tak berdaya di tataran implementasi. Perangkat-perangkat Negara rupanya tidak sungguh-sungguh ingin mewujudkan tujuan bernegara. Mereka hanya tertawa jumawa, centil dan sedikit genit, berdiri pongah dalam sebuah lakon di panggung parodi yang bertuliskan “Atas Nama Rakyat.”
Keadilan sebagaimana tujuan utama bernegara diterjemahkan sesuka hati. Penegakan hukum menjadi tegak setegak-tegaknya jika yang duduk di kursi pesakitan adalah masyarakat miskin. Tetapi menjadi tumpul, setumpul-tumpulnya jika yang terseret adalah orang berduit. Jargon perlakuan yang sama di muka hukum jauh panggang dari api.
Kita masih ingat, kejadian di Kabupaten Maros, Sulsel beberapa waktu lalu rakyat miskin yang meninggal dunia di puskesmas terpaksa harus di bawa pulang dengan menggunakan mobil pengangkut ikan. Mobil ambulance yang ada di puskesmas tidak diperkenankan untuk digunakan dengan dalih bukan mobil jenazah. Kejadian serupa juga terjadi di Sinjai, dimana mayat dibonceng motor ke rumah duka karena ambulance tidak dipinjamkan oleh pihak puskesmas.
Kapolda Nusa Tenggara Timur Brigjend Endang Sunjaya dicopot dari jabatannya, beberapa hari pasca merebaknya kasus razia minuman keras milik Herman Hery, Anggota DPR RI dari partai penguasa.
Beberapa hari lalu, mata public terbelalak atas putusan Hakim Pengadilan Negeri Palembang terkait kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Bumi Mekar Hijau. Hakim Parlan Nababan menolak gugatan perdata senilai Rp. 7,9 triliun yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup. Menurut Parlan kebakaran hutan tidak mengganggu lingkungan.
Padahal, orang buta dan tuli pun tahu, betapa asap akibat kebakaran itu menimbulkan penyakit bagi warga sekitar. Bahkan beberapa balita dikabarkan meninggal dunia akibat terpapar asap hingga menyerang sistem pernapasan.
Sebelumnya, Nenek Asyani dari Situbondo harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena menebang kayu, meski pada lahannya sendiri.
Harso Taruna (67), seorang kakek renta harus mendekam di Mapolres Gunung Kidul karena dituduh menebang kayu miliki Negara dan merusak lingkungan. Padahal, pohon jati berdiameter 20 cm itu roboh dan menghalangi lahan garapannya. Karena itu ia berinisiatif untuk memotong kayu tersebut menjadi tiga bagian dan menggesernya ke pinggir ladang. Meski kukuh menolak mengakui telah menebang kayu, ia tetap ditahan.