Lihat ke Halaman Asli

IRWAN ALI

Peneliti di Lingkar Data Indonesia

Amma Toa Dalam Pusaran Transaksi Kebudayaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Etnis Amma Toa berada di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Letaknya kurang lebih 40 km sebelah timur Kota Bulukumba. Keunikan budayanya sudah terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia. Keunikan ini pula yang membuat Kajang tiap tahunnya dibanjiri wisatawan mancanegara.

Etnis Amma Toa terkenal dengan falsafah hidupnya 'Tukamase-masea' (hidup prihatin). Mereka juga cenderung menutup diri atas masuknya budaya lain. Hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan adat, seperti tidak diperbolehkannya warga menggunakan lampu listrik, alat-alat musik modern, dan berbagai hal yang menyimbolkan medernitas.

Warga adat juga tidak diperkenankan untuk hidup bermewah-mewah kendati sebenarnya mereka punya kemampuan untuk itu. Mereka melakoni hidup apa adanya. Prinsip hidup 'Kamase-Mase' menurut keyakinan komunitas ini dapat mendekatkan kita pada Sang Pencipta. Sebaliknya, hidup glamour dan bermewah-mewah cenderung membutakan mata hati, sehingga lupa pada Sang Pencipta.

Falsafah hidup Masyarakat Adat Kajang juga mentabukan sifat serakah. Keserakahan adalah sifat binatang yang harus dijauhi. Wujud dari falsafah ini mengejawantah pada larangan warga untuk menanam padi dua kali/musim dalam setahun. Warga hanya diperkenankan untuk bersawah pada musim kemarau. Warga yang kedapatan melanggar, akan dikenakan sanksi adat.

Falsafah hidup ini sudah dipertahankan turun temurun dari generasi ke generasi.

Setidaknya itu yang terpotret dalam diri penulis selama tinggal di Lembang Kahu, Desa Tana Toa Kecamatan Kajang selama lebih dari 10 tahun menemani ayah penulis yang kebetulan bertugas sebagai Guru di SD 113 Luraya.

15 tahun berlalu, penulis kemudian menginjakkan kaki kembali di Tana Toa. Kisah yang terpotret 15 tahun silam tampak berubah. Pakaian kaum mudanya nampak mengikuti model pakaian anak muda kebanyakan. Alat komunikasi seperti handphone pun bukan lagi barang yang langka. Dengan mudahnya kita dapat melihat, orang-orang yang menyelipkan handphone di balik kantong bajunya.

Apa yang terjadi? Demikian tanyaku dalam hati. Mungkinkah falsafah hidup prihatin yang diwariskan turun-temurun sudah mulai terkikis, dan akan hilang ditelan zaman?

Yah ... Kisah itu perlahan aus, tergerus oleh budaya global yang semakin kuat melakukan penetrasi. Budaya Kajang yang identik dengan pakaian hitam-hitam dipaksa larut dalam sebuah pusaran transaksi kebudayaan. Identitas yang cenderung menutup diri terhadap kebudayaan luar tak berdaya dihadapan narasi raksasa globalisasi.

Apakah budaya Kajang saat ini sedang menuju senja kala peradaban seperti dalam kajian-kajian kebudayaan? Kebudayaan akan bergerak menuju senja kala peradaban tatkala kebudayaan itu telah kehilangan nafas zaman. Kebiasaan dan tradisi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian.

Mungkin benar, ide modernitas yang terbungkus dalam narasi raksasa globalisasi telah menerjang setiap dimensi kehidupan manusia. Misi uniformitas yang terkandung didalamnya juga melabrak dan bergerak di empat penjuru mata angin, sehingga tidak ada satu tradisi dan budaya yang sanggup bertahan lama dalam posisi berlawanan. Arusnya terlampau kuat untuk dilawan. Dan karena kekuatan itu pula membuat hampir semua budaya (termasuk budaya Kajang) yang dilaluinya menjadi hanyut, atau minimal terkontaminasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline