Lihat ke Halaman Asli

Irwan E. Siregar

Bebas Berkreasi

Menanti Saat Terkuburnya Media Cetak

Diperbarui: 10 Februari 2022   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. (Foto: the straits times)

HPN 2022

Di Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati kemarin di Kendari, alangkah baiknya jika para jurnalis kita bercermin ke media tetangga, seperti The Straits Times.

Media yang terbit di Singapura pada 1845 ini dikelola dengan sangat profesional, meskipun seluruh sahamnya dimiliki oleh pemerintah Republik Singapura. Beroplah hampir 400 ribu eksemplar setiap hari, media berbahasa Inggris ini selalu sarat dengan iklan. Singapore Press Holdings (SPH) yang menerbitkan koran ini juga membuat koran berbahasa Melayu, Cina, Tamil, dan juga tabloid harian.

Namun, masa kejayaan media yang sudah berusia ratusan tahun itu akhirnya pudar juga. Tahun lalu muncul berita mengejutkan. SPH yang semula bergelimang dengan uang hasil penjualan koran dan iklan, mengatakan akan berubah menjadi perusahaan nirlaba, atau tak mencari keuntungan.

Hal itu terpaksa dilakukan karena keuntungan dari media cetak ini melorot terus dalam 5 tahun terakhir ini. Pendapatan dari penjualan koran anjlok karena pembaca kini lebih suka berita online. Sedangkan iklan habis tersedot google dan facebook. Pendapatan yang hilang separoh dari keuntungan selama ini.

Dengan menjadi perusahaan nirlaba, dikatakan SPH akan dapat mencari pendanaan dari berbagai sumber publik dan swasta. Sementara itu, berdasarkan usulan restrukturisasi, bisnis media SPH akan diakuisisi dan dipegang oleh anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh SPH bernama SPH Media Holdings Pte Ltd.

Anak perusahaan akan memiliki semua bisnis yang berhubungan dengan media termasuk karyawan, Pusat Berita dan Pusat Cetak, dan hak sewa terkait, dan aset teknologi informasi.

Berdasarkan pengalaman ini, media cetak di tanah air sebaiknya juga sejak sekarang mengambil ancang-ancang agar jangan sampai terperosok ke dalam jurang kehancuran. Sebab, menerbitkan media cetak sarat dengan modal. Biaya operasionalnya besar. Harga kertas dan bahan cetak menaik terus. Distribusinya juga memerlukan biaya yang tak sedikit.

Seandainya memang tak bisa lagi dipertahankan hidup, biarlah media cetak tinggal menjadi kenangan. (irwan e. siregar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline