Lihat ke Halaman Asli

Gen Z: sang Penakluk Hoax di Rimba Digital Pilkada 2024

Diperbarui: 24 Juli 2024   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bayangkan sejenak. Kicauan burung di pagi hari kini berganti dentuman notifikasi. Gossip warung kopi beralih ke thread Twitter yang tak berujung. Selamat datang di era baru kampanye politik, di mana pertarungan sesungguhnya terjadi di medan perang digital.

November Tahun 2024 semakin dekat. Aroma Pilkada mulai tercium, berbaur dengan wangi kopi dari gawai para netizen. Tapi tunggu dulu! Ada bau busuk yang ikut menyeruak - aroma menyengat ujaran kebencian dan hoax yang mengontaminasi lini masa kita.

"Ah, masalah lama," mungkin Anda bergumam. Memang benar, tapi kali ini intensitasnya diprediksi akan melonjak bak virus yang bermutasi. Pemerintah dan pegiat anti-hoax sudah kewalahan. Mereka seperti petugas pemadam kebakaran yang berusaha memadamkan api dengan semprotan air pistol.

Lalu, apakah kita harus pasrah? Tentu tidak! Kunci kemenangannya ada di tangan generasi yang lahir dengan smartphone sebagai dot digital mereka - Generasi Z.

Mari berkenalan dengan para pahlawan masa depan ini. Mereka bisa mengetik secepat kilat dengan dua jempol, multitasking bak timun suri, dan punya kemampuan mencerna informasi secepat mereka swipe layar Tinder. Tapi jangan salah, di balik kecepatan itu ada kerentanan. Mereka bisa jadi mangsa empuk bagi predator digital yang menyebarkan kebencian dan kebohongan.

Jadi, bagaimana kita memanfaatkan kekuatan Gen Z ini? Jawabannya: dengan mengubah cara pandang kita. Lupakan pendekatan kuno yang hanya fokus pada 'memberantas' dan 'menyensor'. Saatnya kita memberdayakan!

Pertama, mari latih mereka menjadi 'hacker algoritma'. Bukan untuk meretas bank, tentu saja, tapi untuk memahami seluk-beluk cara kerja mesin rekomendasi media sosial. Dengan memahami logika di balik filter bubble, Gen Z bisa lebih bijak dalam menyikapi tsunami informasi yang menerjang mereka setiap hari.

Kedua, Gen Z terkenal punya jiwa aktivis yang menggebu-gebu. Nah, ini kesempatan emas! Bentuk 'Digital Peace Corps', pasukan cyber yang siap berperang melawan hoax. Beri mereka misi untuk menciptakan konten-konten positif yang viral. Biarkan mereka menjadi influencer kebenaran di tengah badai kebohongan.

Ketiga, manfaatkan sifat 'nge-crowd' mereka. Gen Z lebih percaya pada teman sebaya ketimbang orang tua atau pejabat. Ciptakan jaringan 'Duta Anti-Hoax' dari kalangan selebgram dan TikToker. Biarkan mereka yang mengajarkan followers-nya cara mencium aroma hoax dari jauh-jauh hari.

Keempat, bicara soal TikTok, ingatlah bahwa Gen Z adalah makhluk audio-visual. Mereka lebih suka nonton daripada baca. Jadi, lupakan pamflet membosankan. Gaungkan kampanye anti-hoax lewat challenge "Fact-Check Dance" atau kompetisi "Meme Pembongkar Kebohongan".

Kelima, Gen Z punya jiwa entrepreneur yang menggelora. Dorong mereka menciptakan start-up anti-hoax. Siapa tahu dari sini lahir 'unicorn' baru yang bisa mendeteksi kebohongan secepat Go-Jek menemukan alamat rumah Anda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline