Lihat ke Halaman Asli

Hukum untuk Semua? Menelaah Kesenjangan Keadilan di Antara Kelas Sosial

Diperbarui: 23 November 2023   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Hukum dan Keadilan (Foto: Hukumonline)

"Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", kira-kira begitu bunyi sila ke-5 pancasila. Jika kita menilik kedalam makna sila ini, sila ke-5 menegaskan bahwa siapapun kita dan apa pun suku, ras, agama kita, perlu mendapatkan keadilan sosial, selagi itu ada yang membuktikan atau identitas kita sebagai warga negara indonesia.

Secara tidak langsung sila ke-5 pancasila menuntun kita pada keadilan, dimana seluruh rakyat indonesia harus dipandang setara, baik dalam ranah hukum, politik, ekonomi, ras, agama, keadilan dan lain sebagainya.

Namun dalam ruang keadilan yang seharusnya merentang tanpa pandang bulu, suara-suara dari kelompok minoritas (masyarakat kelas bawah) terdengar serak. Mereka yang hidup di pinggiran, terkadang terabaikan oleh mata hukum yang seharusnya melindungi dan menegakkan keadilan.

Dalam konteks ini, beberapa pertanyaan muncul. Apakah hukum benar-benar untuk semua? Ataukah ia menjadi semacam alat yang lebih efektif bagi kelompok yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik? Pertanyaan-pertanyaan ini membuka ruang bagi kita bersama untuk menelusuri lebih mendalam terhadap keadaan ketidaksetaraan di dalam rambu-rambu hukum, dengan fokus pada bagaimana sistem hukum saat ini tampaknya tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Pergulatan antara hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas menjadi pusat sorotan, menciptakan kesenjangan yang terus-menerus memperdalam divisi antara mereka yang berkuasa dan yang kurang beruntung.

Di tengah gemuruh perkembangan sosial dan teknologi, masyarakat kelas bawah seringkali terpinggirkan dalam salib hukum. Penegakan hukum yang tajam ke bawah, yang menuntut pertanggungjawaban ketat bagi pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individu biasa, seringkali berakhir menjadi beban yang membebani mereka yang memiliki sumber daya terbatas. Kasus-kasus kecil seperti pencurian atau kepemilikan narkoba, dan pembunuhan dapat mengakibatkan hukuman yang melebihi pelanggaran yang lebih besar, seperti korupsi yang dilakukan oleh orang-orang berkekuasaan.

Sebagai contoh, bayangkan seorang lelaki tua yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Mencuri ubi singkong di kebun tetangganya, hanya untuk memberi makan keluarganya, ia harus mendekam dipenjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Inilah sebenarnya mengapa muncul persepsi hukum dengan tajam kebawah, karena tidak ada lagiruang untuk mempertimbangkan keadaan sosial dan ekonominya yang sulit. Di sisi lain, koruptor besar yang merugikan negara miliaran rupiah mungkin berhasil menghindari hukuman atau menerima hukuman yang tidak sebanding dengan kerugian yang mereka timbulkan.

Dalam kasus inilah, pertanyaan tentang apakah hukum berfungsi sebagai alat keadilan sejati bagi semua warga masyarakat menjadi semakin terurai. Apakah kita telah menciptakan sistem yang mampu menilai konteks dan memberikan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran, ataukah kita tenggelam dalam ketidaksetaraan hukum yang semakin merajalela?

Namun, tidak hanya ketidaksetaraan di tingkat individual yang menjadi masalah, tetapi juga ketidaksetaraan sistemik yang tertanam dalam hukum itu sendiri. Sebagai contoh, kasus tanah pinggir pantai antara investor dan masyarakat lokal. Ini menjadi masalah serius di kalangan masyarakat kelas bawah, seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses perwakilan hukum yang memadai atau mendapatkan perlakuan yang adil di dalam pengadilan.

Mengapa demikian? Tentu yang menjadi alasannya sudah bisa di tebak kok.! Individu atau perusahaan dengan kekayaan dan pengaruh lebih besar dapat menggunakan sistem hukum untuk keuntungan mereka (Hukum tumpul ke atas), dan tak bisa dipungkiri oleh masyarakat kelas bawah, dimana hal tersebut menjadi penghalang bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya pengacara yang mahal atau membangun hubungan politik yang kuat.

Permasalahan semakin pelik ketika kita mempertimbangkan keseimbangan kekuasaan antara masyarakat kelas bawah dan kelas atas. Kekuatan ekonomi dan politik yang dimiliki oleh segelintir orang seringkali mempengaruhi bagaimana hukum diterapkan. Sebuah perusahaan besar mungkin bisa menghindari konsekuensi hukum dengan menggunakan jaringan hubungan politiknya, sementara seorang pekerja pabrik kecil dapat dengan mudah dihancurkan oleh satu tuntutan hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline