Lihat ke Halaman Asli

Mencari Koneksitas antara Reshuffle dan Kehendak Publik

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Reshuffle dalam waktu belakangan ini menjadi tema yang menghangat dalam ruang-ruang diskusi publik. Di berbagai media, issue reshuffle menjadi primadona dari berbagai hiruk pikuk berita lainnya. Tapi berbagai perdebatan menjadi sangat absurd tatkala kita tidak mencari tahu seperti apakah pendapat dan kehendak masyarakat terhadap issue reshuffle ini. Untuk itulah dalam waktu belakangna ini, SPACE Indonesia melakukan polling dan analisa terhadap pendapat masyarakat berkenaan issue reshuffle yang membuat gonjang-ganjing dunia politik Indonesia.

Sampel pendapat dilakukan di enam (6) kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Semarang dan Bandung. Dan pada akhirnya memang muncul hasil yang cukup mengejutkan. Satu hal yang paling substansial dari hasil pengumpulan sampel pendapat masyarakat adalah adanya fakta bahwa masyarakat yang merasa perlu adanya reshuffle hanyalah 48% dari total jumlah responden, berselisih tidak terlalu jauh dengan masyarakat yang merasa tak perlu ada reshuffle sebesar 43% (hanya berselisih 5% saja). Kemudian sisanya memutuskan tidak bersikap terhadap issue reshuffle ini.

Kemudian kami juga melakukan break-down terhadap masyarakat yang memilih perlu ada reshuffle ini secara rinci. Dua alasan terbesar kenapa mereka memilih perlu adanya reshuffle adalah adanya harapan perbaikan kinerja dan kebijakan (58%) serta kebutuhan akan kabinet yang bersih dari korupsi (21%). Sisanya diisi oleh responden yang memilih perlunya reshuffle karena alas an-alasan kesehatan para menteri, pembagian kekuasaan partai politik pendukung pemerintah dan alasan-alasan yang bersifat personal. Selain itu, kami juga melakukan pengumpulan sampel pendapat dari masyarakat responden yang merasa perlu adanya reshuffle tentang menteri yang bagaimana yang dirasa patut direshuffle. Hasilnya adalah 49% responden memilih menteri yang wajib di reshuffle adalah menteri yang terindikasi kasus korupsi, 31% memilih menteri yang dianggap tidak maksimal kinerjanya dan kebijakannya dianggap merugikan publik, alasan karena menteri yang tidak dalam kondisi sehat layak diganti menempati urutan ke tiga (17%), dan karena masalah-masalah pribadi hanyalah 3% saja.

Berdasarkan hasil ini maka tampak jelas bahwa masyarakat Indonesia masih memasukkan perilaku yang menyimpang seperti mencuri, memanfaatkan jabatan dan tidak amanah sebagai pemimpin sebagai variabel-variabel pelanggaran etik. Seperti kita ketahui bersama, sebelum adanya hukum positif yang dibuat berlaku mengikat, jauh sebelumnya masyarakat kita telah diikat oleh hukum-hukum adat yang mengikat secara etik-moral. Terbukti disini masyarakat tidak menganggap masalah personal seseorang menteri tidak mempengaruhi pendapat mereka berkaitan dengan issue reshuffle selagi menteri tersebut dianggap tidak melanggar hukum moral yang berlaku di masyarakat seperti mencuri, memenfaatkan jabatan, tidak amanah, atau perbuatan cabul/amoral lainnya. Masyarakat tidak terpengaruh kepada problematika kehidupan pribadi seorang menteri.

Melihat fakta bahwa responden kali ini tergolong sebagai responden yang merepresentasikan kelompok terdidik yaitu D3 (34%) dan S1 (37%) maka dapat dipastikan bahwa pandangan masyarakat akan keputusan politik sudah bergeser kearah yang lebih rasional. Tidak ditemukan alasan seorang menteri harus diganti karena tidak separtai dengan responden. Hal ini setidaknya memutus perkara-perkara emosional dalam menentukan pilihan.

Bagi kelompok responden yang tidak merasa perlu adanya reshuffle, alasan akan adanya kondisi yang berindikasi pada perubahan kebijakan dapat mengancam stabilitas investasi karena pergantian menteri (33%), khawatir kepada instabilitas ekonomi (31%), instabilitas kemananan (31%), dan sisanya adalah pendapat responden yang menganggap reshuffle hanyalah proyek bagi-bagi kekuasaan (6%).

Melihat kondisi hasil ini maka SPACE Indonesia berusaha membuat analisa-analisa yang berkaitan antara issue reshuffle dengan kenyataan faktual berbasis hasil riset ini. Secara jelas maka kebutuhan akan reshuffle kabinet tidak mutlak menjadi issue yang menarik bagi masyarakat. Kalaupun reshuffle dilakukan maka masyarakat lebih memilih seorang menteri diganti karena factor-faktor yang relevan dengan hajat hidup mereka. Untuk itulah kemudian issue indikasi korupsi dan kinerja berada pada variabel teratas jumlah responden. Kalaulah, media atau bahkan petinggi politik mau melakukan setidaknya pengumpulan sampel pendapat masyarakat terkait issue politik yang sedang hangat seperti issue reshuffle kali ini maka tidak lah perlu ada missing link antara kehendak politik kekuasaan dengan kehendak masyarakat.

Irwan Suhanto, SH.

Direktur Eksekutif SPACE Indonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline