Lihat ke Halaman Asli

Ratu Atut, Kemenangan Pemilukada, Faktor Sosio-Kultural dan Pembentukan Oligarki Elektrolism

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilukada propinsi Banten telah usai. Perhelatan akbar masyarakat Banten dalam memilih pemimpinnya telah selesai diselenggarakan. Hasil rekapitulasi perhitungan suara KPUD Propinsi Banten menempatkan pasangan Ratu Atut-Rano Karno sebagai pemenang dengan meraih 49,65% suara. Mengungguli 2 pasangan lain yaitu Wahidin-Irna Narulita (38,93%) dan Jazuli-Makmun Muzaki (11,42%). Walaupun kemudian muncul gugatan terhadap hasil tersebut karena salah satu pasangan yang kalah lalu mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan akan digelar perdana sidang sengketanya pada 8 November 2011 mendatang, tetapi menarik melihat apa yang sebenarnya terjadi dari kemenangan Ratu Atut-Rano Karno tersebut, terutama berkaitan dengan keberhasilan Ratu Atut beserta keluarga besarnya menempati pos-pos penting kursi kepala daerah di setidaknya separuh dari jumlah kabupaten/kota di propinsi Banten.

Kemenangan Atut-Rano Karno, setidaknya wajib kita telaah tidak semata dari sisi politis saja, tetapi juga dapat kita kaji dari faktor sosio-kultural. Dalam masyarakat Banten, tempat dimana pasangan ini memenangkan pemilukada, terdapat setidaknya 4 besar golongan masyarakat dalam strata tertinggi secara sosio-kultural. Keempat strata itu ialah kelompok jawara di strata teratas, lalu kelompok ulama, kelompok pedagang/usahawan dan terakhir kelompok pegawai pemerintah/ambtenaar. Dari kenyataan ini maka tidaklah mengherankan apabila Ratu Atut sangat sulit dikalahkan, karena dalam struktur sosial masyarakat Banten, keluarga Ratu Atut lewat garis keturunan ayahnya, almarhum H. Tubagus Chasan Sochib, adalah keturunan dari kelompok jawara yang secara sosio-kultural menempati tempat teratas dalam strata sosial masyarakat Banten. Secara sosiologis, amatlah sulit menghempas kelompok dalam strata ini karena mereka telah mencengkeram lama perilaku masyarakat Banten. Secara faktual, harus diakui bawa Ratu Atut kemudian berhasil mempersatukan perekat-perekat lain kedalam status sosial tertinggi yang telah secara biologis dia miliki. Ratu Atut berhasil merekatkan faktor-faktor lain seperti partai politik kuat di Banten yaitu partai Golkar, faktor finansial yang mumpuni dari kegiatan berwira-usaha keluarga besarnya (pedagang/pengusaha juga berada dalam top-four strata masayarakat Banten) dan proyeksi strategi politik jangka panjangnya dengan menempatkan adik dan keluarganya kedalam petinggi birokrasi kabupaten/kota. Kemampuannya mengintegrasikan semua elemen itu pada akhirnya memang mempersulit siapapun yang berkeinginan menghambat naiknya Ratu Atut naik kembali kekursi gubernur Banten. Khusus proyeksi strategi politik jangka panjang yang menjadi grand-disain keluarga besarnya, tentulah mau tidak mau dapat kita kategorikan sebagai faktor terbesar penyumbang kemenangannya. Bayangkan saja, setidaknya 5 dari 8 kabupaten/kota telah ditempati oleh keluarga dan kroni politiknya. Pejabat walikota Serang, Wakil Bupati Serang tercatat sebagai adik Ratu Atut. Walikota Cilegon adalah kroni politik dekat Ratu Atut. Wakil Bupati Pandeglang adalah ibu tirinya dan Walikota Tangerang Selatan adalah adik iparnya. Dalam kenyataan ini setidaknya kepala birokrasi telah dikuasai, belum lagi karena para kerabatnya telah terpilih lewat pemilukada langsung maka masing-masing mereka pasti diyakini memiliki pendukung real yang dapat secara otomatis di konversi menjadi dukungan terhadap Ratu Atut ketika pilgub lalu. Faktor x kemudian muncul ketika Ratu Atut meminang Rano Karno, artis tahun 70-80an, yang menjabat Wakil Bupati Tangerang. Dalam konfigurasi kekuatan birokrasi tentulah kehadiran Rano mendampinginya menambah amunisi kekuatan di kabupaten Tangerang. Belum lagi faktor popularitas Rano sebagai artis segala jaman juga masih terasa kuat. Dan juga faktor parpol pendukung tambahan dari PDI-P, partai dimana Rano duduk sebagai salah satu ketua DPP.

Apabila kita boleh membedah propinsi Banten secara sosio-kultural maka Banten dapat kita pecah menjadi 2 bagian utama, yaitu Banten Utara (kota Tangerang, kota Tangerang Selatan dan kabupaten Tangerang) dan Banten Selatan (kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon, kabupaten Pandeglang dan kabupaten Lebak). Walaupun hampir 55% pemilih berada di wilayah utara, tetapi secara perekat sosio-kultural tetaplah digenggam Ratu Atut.

Apalagi kandidat lain yang menjadi rivalnya tak ada satupun yang memiliki kekuatan sosio-kultural tersebut. Pasangan Wahidin Halim-Irna Narulita boleh saja didukung partai Demokrat, tapi mereka tak memiliki faktor perekat adat seperti yang Atut miliki. Wahidin adalah putera Tangerang asli, yang jelas secara kultural amatlah berbeda dengan masyarakat Banten inti. Pasangan Wahidin yaitu Irna Narulita, walaupun berasal dari kabupaten Pandeglang, karena kebetulan dia adalah istri dari Dimyati Natakusumah, mantan Bupati Pandeglang, juga bukanlah siapa-siapa. Dapat dikatakan Irna tidak memberikan rekatan apapun bagi Wahidin, walaupun ia pernah maju dalam pemilukada bupati Pandeglang beberapa bulan lalu.

Pasangan lain seperti Jazuli-Makmun Muzaki juga mengalami dialektika yang sama. Mereka tak juga memiliki perekat-perekat sekuat yang dimiliki Ratu Atut-Rano Karno. Seharusnya diskusi tentang hal-hal yang justru tidak sama sekali politis, seperti faktor sosio-kultural-historis memang wajib diperhitungkan oleh para kandidat pasangan kepala daerah dan bahkan oleh para konsultan politik mereka. Saat ini kita tidak bisa berteriak-teriak tentang perubahan dalam khazanah retorik, karena dalam pola pikir yang relatif mulai cerdas, masyarakat kita masih ambigu karena disisi lain masih menempatkan pertimbangan adat dan kebiasaan dalam pikiran dan keputusan mereka.

Dalam konteks inilah maka kepekaan para konsultan politik mempertajam pisau analisanya dengan memperkaya konfigurasi strategi pemenangan yang mereka tawarkan dengan faktor-faktor non-politis sudah seharusnya dilakukan. Pemilukada bukanlah sekedar peristiwa politik. Didalamnya terdapat peristiwa sosial, peristiwa kultural sekaligus peristiwa ekonomi. Kalaulah Ratu Atut berhasil memenangkan pertarungan dan menasbihkan dirinya kembali sebagai gubernur propinsi Banten kedua kalinya, maka genaplah sudah karena sebuah peristiwa lain yang baru juga muncul dari propinsi terujung di barat pulau Jawa ini yaitu peristiwa terbentuknya sebuah Oligarki Elektoralism, sebuah oligarki politik yang terbentuk lewat cara-cara demokratis-prosedural bernama pemilukada. Suka atau tidak, walaupun saya tidak mau menggunakan istilah dinasti bagi keberhasilan keluarga besar Ratu Atut, maka inilah fakta empiris yang telah dipilih oleh masyarakat Banten. Sebuah keputusan yang dianggap oleh para pembaharu di Banten sebagai keputusan yang keliru. Tapi bukankah politik tak selalu hitam putih? Kekeliruan yang dituduhkan toh akhirnya melahirkan kemenangan faktual. Premis bagi kita adalah bahwa politik bahkan demokrasi ternyata tak mampu berjalan sendirian, mereka tetap membutuhkan faktor sosial, kultural bahkan historis untuk bisa laju berjalan, dan uang sebagai perekat ekonomi akhirnya menjadi pelumasnya.

Irwan Suhanto, SH.

Penulis adalah pemerhati demokrasi, tinggal di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline