Lihat ke Halaman Asli

Vinofiyo

Buruh negara

Panas Setahun Dihapuskan Hujan Sehari

Diperbarui: 22 Januari 2021   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: KOMPAS.com/NURWAHIDAH

Tidak bisa dipungkiri, dibalik segala kekurangan, Polri telah mengukir prestasi yang cukup banyak untuk disebutkan. Mulai dari hal yang tidak terlihat di bidang intelijen sampai kepada penanggulangan kerusuhan dan pengungkapan kasus-kasus baik besar ataupun kecil. Selain itu, Polri juga cukup berhasil dalam pemberantasan terorisme dan premanisme. 

Hal yang paling membuat saya tersentuh adalah saat datangnya lebaran dan tahun baru. Bagaimana tidak, saya dan masyarakat lain menikmati liburan sementara mereka harus melaksanakan operasi pengamanan. Tidak akan ada anggota Polri yang dapat libut ataupun cuti saat itu. Namun demikian, mereka tetap bersemangat baik hujan ataupun panas berjaga di jalan. 

Boleh dikata, selagi masih jadi polisi, mereka tak akan pernah menikmati mudik dan merayakan lebaran atau natal serta tahun baru seperti kita. Hal itu juga berimbas pada keluarganya, tak bisa berkumpul dalam formasi lengkap karena terhalang tugas Memang setelah operasi ketupat dan lilin berakhir, mereka bisa cuti juga, tapi momennya sudah lewat. Disitu saya sering merasa sedih.

Namun semua kebaikan itu akan langsung sirna, hilang tak berbekas ketika kita sedang sial, distop oleh Polantas. Mau benar atau salah, bayangan buruk langsung datang. Meskipun benar kita bersalah dan petugasnya ramah, sedikit banyaknya para pelanggar akan kesal. Merasa perjalanannya terganggu oleh hal yang sering sepele. Belum lagi unsur subyektif mengenai beda penafsiran aturan. 

Tilang memang sering jadi masalah, karena penentuan benar dan salah ada pada petugas yang melakukan penilangan. Sedikit orang yang mau mempersoalkan sampai ke pengadilan, entah tidak mau repot atau karena merasa percuma. Sangat jarang hakim yang menghadirkan petugas penilang untuk mencari kebenaran materil, apalagi di kota besar yang sekali sidang memutus ratusan bahkan ribuan berkas tilang. Tok tok tok, selesai. 

Itu kalau penilangan dan petugasnya sesuai prosedur. Coba saja, kalau kita bertemu petugas korup yang mencari-cari kesalahan demi mendapatkan salam tempel. Rasa tak berdaya masyarakat hanya tersalurkan lewat cerita dan umpatan baik lisan maupun di media sosial. 

Orang jadi lupa, betapa kerja keras polisi dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Rusak karena ulah oknum Polantas. Tugas tak kenal waktu siang dan malam polisi lain, jadi tak berarti kalau sudah bicara oknum Polantas. Seperti membangun rumah-rumahan dari kartu, yang setelah disusun dengan hati-hati, tiba-tiba roboh gara-gara tersenggol anak kecil.

Polisi bukan hanya Polantas, namun mereka yang paling sering berinteraksi dengan masyarakat. Tidak salah juga kalau orang menyamaratakan semua polisi adalah Polantas.

Mungkin atas dasar itulah, demi usaha terus memperbaiki citra polisi dimata masyarakat, maka calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Purnomo mengemukakan perlunya penerapan  Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). 

ETLE bukanlah hal baru mengingat sejumlah negara sudah menerapkannya. Bukan hal yang asing juga di Indonesia karena di beberapa kota terutama Jakarta sudah menerapkannya. Tinggal meneruskan saja di kota-kota lain. Sangat perlu untuk didukung, karena pelanggar akan dapat disuguhi bukti valid. Tidak akan ada lagi perdebatan apalagi umpatan. 

Namun bagaimanakah dengan petugas yang tidak perlu lagi menilang dan hanya mengatur lalu lintas ?. Perlu dipilah lagi karena tidak semua pekanggaran dapat tertangkap kamera. Contohnya pengemudi yang ugal-ugalan karena mabuk. Kamera pengawas dapat menangkap tindakan ugal-ugalan, namun soal ia mabuk hanya petugas yang dapat menghentikan dan menindaknya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline