Akhir-akhir ini, fenomena kenakalan remaja semakin sering disuguhkan media, bahkan menjadi menu perbincangan hangat di kalangan orang tua dan masyarakat. Tak sedikit pula orang tua yang sedang terjangkit frustrasi akibat ulah anaknya yang terlibat tawuran, kekerasan seksual, rokok, miras, seks bebas, bahkan kecanduan narkoba. Semakin dikontrol, malah makin bolos. Semakin marah malah tambah ganas.
Pada titik, ini orang tua biasanya mulai pasrah. Mimpi untuk menjadikan anaknya cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual hanya mampu diungkapkan dalam doa-doa sebelum tidur. Trend sosial rupanya lebih mudah diterima dari pada nasehat-nasehat orang tua yang terlanjur dianggap klasik di kalangan remaja.
Mendidik anak pada era global memang tergolong pelik. Orang tua dituntut agar mampu membesarkan anak-anaknya dalam dunia yang semakin terbuka dengan arus informasi dan kemajuan teknologi. Setiap hari, kita berada pada pusaran arus informasi yang dikemas dalam berbagai sumber seperti media massa, HP, sinetron, film, internet dan media sosial.
Situasi ini menuntut siapa saja untuk bersikap kritis. Kesadaran kritis menjadi strong point agar tidak terhanyut dan tenggelam dalam pusaran budaya global yang disalurkan melalui perangkat komunikasi modern. Namun, mampukah anak-anak mendapat kesadaran kritis di tengah trend sosial yang makin tak terbendung ini?
Budaya Literasi
Keluarga merupakan rahim peradaban bangsa. Orang tua sebagai agen sosialisasi awal bagi seorang anak, dituntut untuk menanamkan nilai sedini mungkin sebelum budaya trend (budaya global) merasuki mental anak dan remaja. Dengan kata lain, budaya trend yang menawarkan hedonisme harus dilawan dengan budaya literasi yang membentuk kesadaran kritis.
Budaya literasi merupakan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis untuk kemudian akan menghasilkan karya. Kebiasaan ini harus ditumbuhkan sedini mungkin agar seorang anak dan remaja memiliki ketajaman berpikir melalui proses membaca dan menulis. Dia pada akhirnya mampu memanfaatkan ‘kesadarannya’ untuk melawan infiltrasi budaya hedonisme dan pragmatisme yang berkembang dalam trend sosial.
Namun fakta membuktikan sebaliknya. Selama ini, kita telah mengalami pelompatan tangga yang cukup signifikan. Keluarga dan Negara sebagai alat kontrol sosial belum mampu membentuk kesadaran kritis di kalangan anak dan remaja. Seharusnya sebelum keran kebebasan informasi dan komunikasi dibuka lebar-lebar, kita sudah matang dalam budaya literasi yang melahirkan kesadaran kritis. Alhasilnya, seorang remaja menerjemahkan secara lurus kekerasan dan perilaku hedonis yang ditampilkan melalui internet, film, sinetron maupun berita, lalu dipraktekkan dalam realitas.
Pelompatan tangga ini juga menjadi situasi bertambah pelik. Keluarga dan Negara sebagai institusi sosial, kehilangan daya untuk meredam kembali pengaruh negatif yang sudah terlanjur membatu di lingkungan dan kepribadian anak. Negara malah membuat kebijakan yang sebenarnya tidak menyentuh akar persoalan. Hasilnya, banyak remaja yang terancam hukuman kebiri akibat kekerasan seksual yang makin menjamur. Namun apakah dengan hukuman kebiri kekerasan seksual dapat dihentikan? Belum tentu. Selama kesadaran kritis belum terbentuk, selama itu pula peluang kejahatan bisa terjadi bahkan dengan motif dan cara baru.
Pendekatan Budaya
Salah satu cara untuk menanamkan budaya literasi dalam keluarga adalah melalui pendekatan budaya lokal. Salah satu kebiasaan masyarakat adat kita khususnya di kampung-kampung adalah kebiasaan duduk berkumpul. Dalam masyarakat adat Manggarai, Flores, NTT misalnya ada budaya lonto leokdimana melalui budaya ini segala macam persoalan dimusyawarakan secara bersama untuk mencapai mufakat. Kebiasaan lonto leoksampai saat ini masih terjaga walaupun pada daerah perkotaan sudah berangsur pudar.