Bukan hal yang baru jika siswa yang sedang duduk dibangku SMK/STM dan sederajat sering dilibatkan dalam suatu bengkel kendaraan baik roda dua, empat dan lainnya. Praktek Kerja Lapangan atau PKL merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diikuti seluruh peserta didik dan menjadi syarat mutlak untuk kelulusan. Sehingga setiap siswa akan mengikuti PKL atau magang dibeberapa bengkel yang disesuaikan dengan jenis peminatan atau jurusan yang ditentukan oleh pihak sekolah. Kebanyakan pihak sekolah membebaskan siswanya untuk mencari tempat (bengkel/workshop) yang bisa menerima mereka untuk melakukan kerja praktek dan pihak sekolah umumnya membantu dalam hal administrasi, surat tugas dan rekomendasinya sejenisnya.
Jika melihat aktivitas PKL secara umum, maka bisa dikatakan bahwa aktivitas peserta didik selama mengikuti pkl/magang adalah melakukan pendampingan kepada para mekanik yang bekerja dibengkel tersebut, memberikan bantuan ketika dibutuhkan para montir yang memang bekerja disana dan pada akhirnya menyerap ilmu praktek dengan berbekal dari mata pelajaran yang sudah mereka terima selama ini dan mengamati sebanyak-banyaknya implementasi pada tempat mereka melaksanakan kerja praktek. Hasil akhir dari pelaksanaan kegiatan yang mereka lakukan adalah suatu laporan yang disusun dan akan disampaikan kepada pihak sekolah sebagai bagian dari pertanggung jawaban kegiatan pelaksanaan PKL.
Tapi yang terjadi dilapangan sering tidak sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh suatu proses kerja praktek tersebut. Banyak siswa yang merupakan pekerja praktek justru terlibat langsung dalam layanan yang diberikan oleh bengkel tempat mereka praktek dan diberikan tanggungjawab pekerjaan yang setara dengan montir senior yang merupakan mekanik mereka.
Siswa bahkan sudah dibiarkan melakukan pekerjaan selayaknya seorang mekanik berpengalaman yang tanpa adanya pengawasan oleh pihak bengkel resmi. Umumnya para siswa praktek tidak akan menolak tanggung jawab yang diberikan kepada mereka oleh pemilik bengkel dikarenakan banyak faktor, misalnya: keengganan menolak permintaan dari pihak bengkel karena mereka tidak mau dicap sebagai anak yang suka menolak atau malas kalau dimintain bantuan. Alasain lain dikarenakan merasa bosan hanya melihat-lihat para mekanik sebenarnya bekerja dan mereka hanya diposisikan sebagai helper, serta ada juga karena memang mereka senang terlibat dalam aktivitas didalam bengkel serta momen bagi mereka untuk menunjukkan kemampuan mereka serta menarik perhatian pemilik untuk berikutnya setelah lulus ditawari pekerjaan baru ditempat mereka melakukan PKL.
Pihak bengkel sering lupa bahwa anak PKL adalah peserta didik yang masih dalam tahap praktek lapangan dan dalam melakukan aktivitas mereka harus dalam pendampingan dan pantauan piha-pihak yang dianggap mapan dalam aktivitas tersebut. Pihak bengkel terkadang lupa bahwa banyak hal yang masih harus dipelajari oleh peserta kerja praktek selain aktivitas yang berhubungan dengan penyelesaian pekerjaan secara fisik. Mereka masih harus dibina dalam hal emosi dan tanggung jawab moral sebagai individu yang bertanggung jawab dalam melaksanaan pekerjaan dan juga empati kepada pemilik kendaraan yang mereka perbaiki. Pihak bengkel seharusnya tidak hanya berpikir untuk mendapatkan jasa yang siswa berikan secara gratis tanpa memikirkan dampak-dampak yang bisa saja terjadi setelah proses pemberian layanan kepada konsumen diberikan.
Banyak konsumen yang sering menyampaikan ketidakpuasan mereka atas layanan yang diberikan oleh bengkel pinggiran hingga bengkel resmi tempat mereka menerima jasa, tetapi sedikit diantara konsumen yang tahu bahwa dibalik aktivitas perbengkelan sering terdapat mekanik yang ternyata masih duduk dibangku sekolah dan mereka masih dalam status kerja praktek tetapi sudah diberikan tanggung jawab sebagai seorang mekanik berpengalaman.
Didalam memberikan pelayanan para konsumen biasanya tidak banyak yang bisa membedakan siapa yang masih pkl atau yang sudah menjadi mekanik sebenarnya di bengkel tersebut, karena secara tampilan mereka hampir sama saja dan umumnya para konsumen tidak banyak melakukan komunikasi dengan para mekanik karena adanya batas jangkauan yang ditetapkan kepada para konsumen untuk berinteraksi dengan para mekanik.
Penting bagi para pemilik bengkel untuk lebih berhati-hati untuk memberikan tanggung jawab kepada para siswa yang sedang pekerja praktek, atau minimal memberikan pendampingan yang cukup kepada mereka sehingga dalam melaksanakan aktivitas kerja praktek, para siswa mendapatkan banyak masukan dan pengawasan yang cukup. Selain hal itu sebagai bagian dari pengendalian kualitas layanan yang diberikan kepada konsumen, para siswa kerja praktek juga bisa mendapatkan masukan-masukan saat mereka terlibat dan memberikan mereka kepercayaan yang lebih.
Sehingga tidak selamanya tergantung kepada pemilihan bengkel resmi atau bengkel pinggiran, integritas dan tanggung jawab pemilik dan para mekanik menjadi kunci sukses pelayanan yang diberikan kepada konsumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H