Sudah bukan rahasia lagi kalau begitu banyak calon yang menjadi kandidat kepala daerah di berbagai kota/kabupaten dan provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia pernah tersandung kasus korupsi dan bahkan beberapa dari mereka saat ini masih dalam tahap menunggu proses hukum selanjutnya terhadap tindak pidana korupsi yang di tuduhkan kepada mereka.
Akhir-akhir ini memang sedang ramai kita saksikan di media cetak maupun elektronik tentang penangkapan beberapa calon kepala daerah pada beberapa daerah tertentu yang dilakukan oleh KPK yang kebetulan mommennya berdekatan dengan akan dilaksanakannya pilkada yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi.
Kondisi ini menyebabkan pro dan kontra ditengah-tengah beberapa pihak terutama partai politik yang menjadi pihak yang mendukung beberapa calon kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Beberapa beranggapan kalau langkah KPK dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT) akhir-akhir ini terlalu berlebihan dan bahkan seolah-olah sudah melebihi kewenangan yang seharusnya dari lembaga yang muncul setelah reformasi tersebut.
Langkah yang diambil KPK dianggap membuat kondisi semakin gaduh dan sarat muatan politik karena dianggap menguntungkan partai politik penantang dalam pilkda yang menjadi rival calon kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tersebut.
Namun tidak sedikit pihak yang justru mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh KPK. Sebagai salah satu lembaga yang memang ditugaskan dalam penanganan kasus korupsi, KPK dinilai sudah membuat terobosan baru yang justru memberikan efek jera kepada beberapa calon walikota dan partai politik agar lebih baik lagi dalam melakukan screening personel yang akan di ajukan dalam pilkada tertentu.
Terlepas dari pro dan kontra serta undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban setiap warga Negara dalam berpolitik, banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan dalam mengajukan calon yang pernah terkandung kasus korupsi.
Secara aspek sosial, menurut saya elektabilitas calon kandidat pilkada yang pernah mendapatkan kasus tipikor pasti akan terpengaruh dan memberikan dampak yang negarif. Setidaknya sejarah mencatat bahwa yang bersangkutan pernah diproses secara hukum dan khalayak ramai menyaksikannya baik secara media maupun dari mulut ke mulut. Namun apakah itu akan memastikan dia tidak terpilih? Belum tentu. Tim pemenangan yang merupakan mesin partai akan bergerak dengan segala daya dan upaya serta bergagai macam metode untuk semaksimal mungkin memenangkan si calon pimpinan daerah yang diusung partai koalisinya.
Mesin partai ini luar biasa dalam bekerja karena mereka juga didukung semua aspek yang luar biasa pula mulai dari jaringan, komunitas, pimpinan partai dan tentunya aspek finansial. Sehingga si calon yang notabene pernah terkenan kasus tipikor masih berpeluang untuk memenangi pilkada dimana tempat dia diunggulkan. Apalagi saingan yang menjadi rivalnya dalam pilkada tidak terlalu punya partai yang terlalu berpengaruh didaerah itu dan tim kampanye yang tidak mumpuni. Bahkan mungkin saingan yang ada hanyalah sebagai pelengkap saja dalam pilkada tersebut.
Hal inilah yang kemudian memunculkan opini dari berbagai pihak yang mengusulkan agar orang-orang yang pernah tersandung (apalagi pernah divonis sebagai terpidana) kasus korupsi, dicabut hak politiknya untuk dipilih sementara hak memilih tetap diberikan.
Hal ini menurut saya wajar saja mengingat banyaknya kasus korupsi yang terjadi kepada pimpinan daerah saat menjabat dan akhir-akhir ini justru semakin menjadi-jadi. Sehingga dengan pencabutan hak politik untuk dipilih, para pimpinan daerah ataupun para pejabat bahkan pihak-pihak lain lebih berhati-hati dan takut jika terkena kasus korupsi apabila mereka memiliki niatan suatu saat akan mengajukan diri dalam pemilihan pimpinan daerah. Langkah ini merupakan salah satu langkah preventif guna menjaring para calon pimpinan daerah yang bersih dan berintegritas.