Lihat ke Halaman Asli

Irfan Abu Musa

Ayah seorang anak adopsi dan pengasuh rumah tahfidz

Belajar Kesederhanaan di Pesantren Kesuren

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

142505355191142912

Sederhana dan Miskin. Keduanya adalah hal berbeda. Tapi kadang kita melihatnya seperti sama. Saya mendapat pelajaran tentang tipisnya perbedaan sederhana dan miskin itu saat mengunjungi Pondok Pesantren Kesuren, Serang, Banten.

Saya sungguh kagum dengan gaya hidup para santri di pesantren ini. Asrama atau kobong tempat mereka tinggal hanyalah rumah panggung berdinding bilik bambu non permanen.

Siang itu, saya lihat para santri tengah bergotong royong untuk melapisi bilik bambu sebagian kamar dengan kertas. Kamar bilik bambu berukuran 1 x 2 meter yang terbilang sederhana itu adalah tempat pemondokan santri. Ada sekitar sepuluh kamar di pesantren itu. Jika tak dilapisi kertas, angin malam pasti akan mudah menyusup.

Laku sederhana itu sepertinya memang disengaja. Pendiri sekaligus pimpinan pondok Ustadz Agus Rahmat mengatakan pada saya bahwa kesederhanaan adalah inti dari kurikulum Kesuren. Pesantren ini didirikan pada 2013 lalu, sengaja bercorak kobong atau pesantren tradisional (salafiyah).

“Mereka sudah hidup perih dengan tinggal di kamar bilik bambu, jadi akan sangat rugi bagi santri di sini jika mereka tidak belajar dengan sungguh-sungguh.”

"Jadi kalo santri pesantren yang asramanya bagus tidak hapal kitab, saya rasa wajar. Tapi kalo santri di pesantren ini masih tidak hapal juga, pasti ruginya dua kali lipat," ujar Agus.

Di situ kadang saya merasa tertampar. Dulu ketika saya mondok belasan tahun lalu, rasanya sudah sangat mewah. Tinggal di asrama dengan bangunan permanen dan berbagai kemudahan lain seperti makan di dapur umum yang disediakan juru masak. Di Kesuren, untuk makan santri harus memasak sendiri. Hampir setiap hari, mereka memasak nasi liwet dan makan bersama di atas nampan secara bancakan.Sungguh klasik.

[caption id="attachment_370824" align="aligncenter" width="300" caption="Adih, seorang santri penyandang disabilitas berbincang dengan rekannya sebelum mengaji, usai salat ashar. (Foto: Irvan AF)."][/caption]

Meski tinggal di gubuk, menurut Agus, dia kerap mendengar santrinya tertawa terbahak. Mereka seakan lupa pada kondisi pondok mereka tinggal.

“Saya setiap hari mendengar mereka tertawa. Berarti mereka tidak hidup menderita. Justru sebaliknya, mereka hidup senang,” tegas Agus.

Uniknya, Agus bercerita, ada seorang pengusaha di Serang yang dilanda penyakit insomnia. Dia kerap kesulitan memejamkan mata, meski tinggal di rumah mewah dan sering menginap di hotel mewah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline