Minggu kemarin, 19 Maret 2023, kami mengunjungi pemakaman yang terletak di daerah Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Pusat. Lokasi makam itu di sebelah Pasar Sunan Giri. Lumayan besar pemakaman itu. Sejauh mata memandang, hanya terlihat makam-makam yang berderet dengan rapi.
Hari itu adalah pertama kalinya kami mendatangi pemakaman itu, sebagai tradisi sebelum dimulainya Puasa Ramadan, setelah lockdown berakhir. Terakhir kali kami berkunjung adalah pada Idul Fitri 2019, jauh sebelum ada pandemi Covid-19. Sejak 2020 hingga 2022, kami tak mendatanginya berkat adanya lockdown. Selain itu, kami juga tak siap harus berhadapan dengan kerumunan orang yang ada di makam.
Akhir pekan kemarin, kami harus memakai masker wajah dobel, seperti biasa, sebagai antisipasi bertemu banyak orang. Maklumlah, karena 19 Maret itu adalah akhir pekan terakhir sebelum dimulainya Puasa Ramadan, maka peziarah pun membeludag.
Kami punya dua anggota keluarga di pemakaman itu, di mana orang mengenalnya sebagai Pemakaman Kemiri. Adik saya, anak ketiga di keluarga, kakak adik kami paling kecil, wafat pada 30 November 1980. Usianya baru 3 tahun. Lalu, ada bapak, yang wafat pada 23 Oktober 2004. Meski berada di satu pemakaman, letak kedua makam mereka berjauhan.
Saat adik saya wafat, bapak meminta kepada pengurus pemakaman untuk mencarikan perawat makam. Bertemulah kami dengan Pak Ipit, orang Betawi yang juga pegawai pemakaman itu. Dia tinggal di rumah sekitar pemakaman. Kami langsung terbiasa dengan Pak Ipit, karena kerjanya sangat bagus. Makam adik saya selalu hijau rumputnya, segar, bersih, indah.
Sayangnya, hanya sekitar satu tahun kami bisa bekerja sama dengan Pak Ipit, sebelum dia wafat. Makamnya dekat dengan makam adik saya, beda gang.
Kemudian, ada lagi petugas yang ditunjuk menjadi perawat makam adik saya. Saya lupa namanya. Terus seperti itu, selalu ada perawat makam yang bertugas. Sering berganti, karena biasanya perawat makam sebelumnya lantas dipindahkan ke pemakaman lain.
Kemudian, bapak saya meninggal pada 2004. Ketika itu, perawat makam yang kami percaya bernama Pak Sodik. Dia juga sekaligus merawat makam adik saya.
Untuk perawat makam, biasanya kami memberi dana per bulan yang kami berikan setiap kali kami nyekar tiap bulan. Namun sayangnya, kami hilang kontak dengan Pak Sodik, dua tahun sebelum pandemi, karena dia dipindah ke pemakaman di Kebon Nanas.
Sejak itu, tidak ada yang merawat makam bapak dan adik saya. Kemarin, ketika kami berkunjung, sedih sekali, karena kondisinya kotor, rumput rusak, tanah menurun, huruf-huruf di nisan marmer memudar. Kondisi makam adik saya sangat parah dibanding makam bapak. Sehingga, menjadi prioritas untuk diperbaiki.