Sepp Blatter memendam pendapat aslinya tentang Qatar, sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, selama 12 tahun. Awal November lalu, eks presiden FIFA itu berkata kurang lebih: "Qatar terlalu kecil. Sepak bola dan Piala Dunia terlalu besar untuk mereka."
Barangkali saja itu omongan orang sakit hati, karena sejenak setelah Qatar ditetapkan sebagai tuan rumah pada 2 Desember 2010, Blatter lantas diperiksa polisi terkait skandal korupsi, yang bisa jadi juga melibatkan terpilihnya Qatar. Bahkan, dia dilarang untuk berkegiatan di dunia sepak bola hingga 2028.
Namun, Blatter ada benarnya. Qatar memang kecil, sebagai sebuah negara. Luas total hanya 11.581 km persegi, kira-kira dua kali luas Jabodetabek yang 6.437 km persegi.
Dari segi penduduk, Qatar juga minimalis. Menurut sensus 2020, dari Wikipedia, jumlah penduduk Qatar adalah 2.795.484 orang. Bahkan masih kalah dari jumlah penduduk di Jakarta Timur, yang jumlahnya 3.111.563 jiwa menurut info dari Info Jabodetabek.
Akan tetapi, Blatter tak melihat kekuatan lain yang dipunyai Qatar: Kekayaan alam berupa minyak dan gas alam cair.
Keduanya adalah mesin ekonomi dan sumber pendapatan utama Qatar. Memungkinkan Qatar untuk membuat semua Piala Dunia sebelumnya seperti mainan anak-anak.
Menurut CIA World Factbook, cadangan gas alam Qatar melebihi 25 triliun meter kubik -- 13 persen dari jumlah total di dunia, merupakan nomor tiga terbanyak di dunia.
Sementara itu, Qatar memiliki cadangan minyak lebih 25 miliar barel. Dengan kecepatan produksi seperti yang dilakukan saat ini, maka minyak di Qatar akan habis dalam waktu kurang lebih 56 tahun.
Selain mengandalkan minyak dan gas alam cait, Qatar juga memperkuat pendapatan dari sektor lain: Konstruksi, jasa perbankan, dan manufaktur.
Perkembangan ketiga sektor itu membuat gross domestic product (GDP) non-minyak meningkat dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir.