Terus terang, saya suka sekali dengan penampakan luar kereta rel listrik, alias KRL, pada saat ini. Semua jendela dan pintu tertutup rapat, sehingga tidak ada penumpang yang bisa bergelantungan di pintu atau nangkring di atap gerbong.
Dengan semua jendela dan pintu yang tertutup, berarti semua gerbong dilengkapi dengan pendingin atau AC sentral. Saya merasakannya pada 2019, ketika pulang dari acara reuni di kampus saya di Depok sana. Benar, setiap gerbong ada AC-nya.
Enaknya lagi, tidak ada satu pun penjual yang berkeliaran di dalam gerbong. Tidak ada penjual koran, buah, atau barang-barang kecil macam peniti, atau makanan seperti kacang dan bacang. Pengamen pun tak ada. Sehingga, isi gerbong hanya diisi dengan suara penumpang yang mengobrol, bukan teriakan penjaja yang menawarkan dagangannya.
KRL masa kini sungguh berbeda dengan KRL masa lalu, KRL yang saya naiki pada saat saya kuliah di Depok. Selama kurang lebih lima tahun, saya adalah pelanggan KRL. Saya selalu membeli abonemen yang jangka waktunya bulanan. Abonemen itu sangat membantu untuk para mahasiswa. Harganya sangat murah untuk ukuran saat ini. Seingat saya harga per bulan adalah 17 ribu rupiah.
Percayalah, secarik kertas bernama abonemen itu dijaga dengan baik-baik agar tidak kumal atau sobek. Setiap hari, ketika berangkat dan pulang, kondektur akan melubangi di tanggal yang sesuai.
Saya mulai kuliah pada 1988. Ketika itu, Universitas Indonesia baru satu tahun menempati kampus Depok. Yang namanya transportasi masih sangat terbatas pilihannya. Karena itu, almarhum bapak mengontrak sebuah rumah di Jalan Margonda untuk tahun pertama kuliah.
Kebetulan, tetangga punya putri yang kuliah di Fakultas Sastra, jadi saya patungan kontrak rumah dengannya. Hanya saja dia angkatan 1985, sehingga sudah jarang menginap di rumah kontrak. Alhasil, saya hanya betah selama satu semester atau setengah tahun di rumah kontrak itu.
Pada semester kedua, saya meninggalkan rumah kontrak itu. Barang-barang masih di sana, rumah itu hanya untuk singgah seandainya saya sudah terlalu lelah untuk pulang ke Jakarta.
KRL menjadi salah satu moda transportasi yang saya pakai. Cara lainnya adalah naik bus. Pada saat itu, hanya ada satu bus yang trayeknya ke arah Depok. Bus kota nomor 806, berangkat dari Gambir, berakhir di Pasar Minggu. Dari sana, saya akan naik angkot ke kampus, Miniarta namanya.
Karena bus banyak penumpang pesaing, maka saya mencoba naik KRL. Hanya saja, saya harus pintar-pintar memilih jadwal yang nyaman. Terus terang, saya tidak suka keramaian. Berjubel di KRL bukan ide yang bagus untuk saya.
Pada akhir 1980-an, ada kereta diesel yang berangkat dari Stasiun Gambir. Semua KRL masih berhenti di Gambir pada saat itu.
Kereta diesel itu berangkat ke Depok pagi-pagi pada pukul 06.00. Kereta itulah yang saya kejar. Karena, kereta itu cenderung kosong. Mereka yang punya tujuan setelah Stasiun Depok jarang yang menaikinya, karena mereka harus menyambung kereta lain.