Lihat ke Halaman Asli

Irsyal Rusad

TERVERIFIKASI

Internist, FK UGM

Pak Nusron Janganlah Begitu!

Diperbarui: 13 Oktober 2016   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Saya tidak mengikuti acara ILC kemaren malam. Tidak tahu apa sebabnya belakangan ini saya sangat jarang nonton TV. Barangkali terpengaruh dengan tulisan Eckhard Tolle, dalam bukunya "The New Earth," kata beliau, "TV itu sekarang lebih banyak mejadi racun bagi penontonnya." Entah ya, atau tidak dengan apa yang disetir penulis ini, tapi saya rasakan memang begitu.

TV memang sangat adiktif,sebagian besar waktu senggang kita sekarang digunakan untuk duduk menatapnya. Menurut Eckhard Tolle itu, kalau kita lama-lama duduk di depannya, tidak hanya otak pikiran kita saja yang diracuninya, fisik kita juga demikan. Berlama-lama duduk di depan TV, kita dibuatnya akan seperti robot, pikiran kita seperti kosong, dikendalikan dengan ide-ide yang disebarkan oleh pesan-pesan dari TV itu.

Secara fisik juga sama, duduk lama sambil menonton TV, menurut penelitian akan meningkatkan risikokita menderita beberapa oenyakit degeneratif seperti obesitas, diabetes melitus, dan penyakit kardovaskuker

Namun, walaupun saya tidak menonton acara favorit presenter Karni Ilyas di TV One itu, hiruk pillkuk materi acara itu tetap saya pantau, terutama dari dunia maya, media sosial. Kelihatannya ekspresi marah besar Ustad Nusron Purnomo Menghdaapi Ulama waktu acara itu tampaknya menjadi Viral yang berseliweran di media sosial. Saya tidak tahu persisnya bagaimana, tetapi dari melihat mimik Ustad yang mulia ini dari foto-foto yang beredar, beliau kelihatannya memang bukan sekedar marah besar, barangkali sudah pada tingkat murka. Menanggapi ini tidak heran, seorang guru, sahabat saya Pak Thamrin Dahlan, seorang penulis produktif di kompasiana,khusus menulis artikel terkait kemurkaan Nusron Wahid ini. 

Lalu, itulah salah satu alasan saya tidak menonton ILC kemaren malam. Takut otak, pikiran, hati saya juga terkontaminasi oleh ide, suasana, dan kemungkinan perdebatan yang tidak sehat di sana. Apalagi melihat dari topik dan mereka yang hadir dalam acara itu, saya yakin akan terjadi perdebatan seru, bantah membantah, kadang-kadang debat kusir yang sudah di luar batas etika dan moral.

Dan, kelihatannya memang itu yang terjadi. Seperti yang saya duga, beliau marah besar, membela tuannya. Yang juga sering mengumbar kemarahan yang tidak mengenal waktu dan tempat. Tidak tahu juga bagaimana elspresi marahnya, apa yang diucapkannya, dan kepada siapa kemarahaanya itu ditujukan. Melihat ini, seorang Ustad lain yang terkenal kesantunannya kabarnya sampai menangis dibuatnya. Hhmmmm, barangkali menangis karena kecewa atau sedih melihat kok ada yang sampai seperti itu, di depan atau mungkin ditujukan kepada ulama lagi.

Kemudian, "marah" itu, dalam tanda petik, sebenarnya boleh saja, malah bagus. Dia adalah emosi bawaan setiap orang. Kita pasti mempunyainya, bahkan seorang bayipun sama juga. Marah sebenarnya adalah energi yang sangat diperlukan oleh manusia, bahkan binatangpun mempunyainya. Marah adalah energi "fight" atau "flight" dalam mempertahankan, melindungi diri manusia. Ketika manusia misalnya dihadapkan kepada situasi yang mengancam dirinya, berhadapan tiba-tiba dengan seeekor ular contohnya, manusia akan lari menghindar atau menyerangnya. Marah adalah energi yang kita perlukan ketika lari atau menyerang. Marah diperlukan untuk memoertahankan kelangsungan hidup kita.

Nah, marah adalah seperti pedang bersisi dua, dia dapat melukai, membunuh siapa pun juga, termasuk dirinya sendiri, tetapi juga dapat digunakan untuk hal-hal yang positip. Tergantung bagaimana menggunakannya, menyalurkannya. Bagaikan sebuah energi, baik-buruknya tergantung bagaimana, kapan, di mana dan cara kita menyalurkannya.", memggunakannya itu. Ingat, pecahnya perang dunia yang menyebabkan malapetaka dunia, jutaan kematian, pembantaian, pembunuhan, terorisme adalah contoh penyaluran energi marah yyang salah yang sangat mengerikan. Sebaliknya, berkembangnya Ilmu pengetahuan, adanya penyair-penyair terkenal, penulis hebat, mereka yang banyak menyalurkan kekayaan, bantuan, pekerja sosial adalah bentuk lain penyaluran energi marah yang baik dan bermanfaat.

Dalam agama Islam, marah dari sisi negatif begini didentikkan dengan syetan. Sehingga orang yang pemarah dikatakan sama dengan syetan atau berteman dengan syetan. Syurga-pun jauh dari mereka.

Jadi, kalau punya teman yang berkarakter pemarah yang penyalurannya negatif ini, jauhi saja, teman itu menular. Dan, apalagi kalau dia seorang pemimpin, calon pemimpin, daripada ikut menanggung dosa, lebih baik menjaga diri, menjauh dari dia. Kepada Pak #Nusron_Purnomo ( ngk nulis Wahid lah, takut kualat dng nama besar keturunanya) mohon sangat janganlah marah-marah begitu, tidak elok, nanti kami semakin jauh dari Anda dan begitu juga dengan siapa yang Anda bela....hehehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline