[caption id="attachment_281345" align="aligncenter" width="460" caption="telegraph.co.uk"][/caption]
"Siapa yang tidak tahu bahwa olahraga itu banyak manfaatnya?" Pasien saya yang sedang sakit pun, dan barangkali tidak pernah berolahraga sebelumnya akan menganggukkan kepalanya tanda setuju bahwa olahraga berguna untuknya. Ia tahu bahwa olahraga dapat mengurangi perutnya yang buncit itu, yang menjadi biang kerok penyakit yang dideritanya. Nah, kalau kepada pasien dianjurkan untuk berolahraga, "apa Ia mau?" Pengalaman saya, hanya sebagian kecil mereka yang akhirnya mau melakukannya.
Seperti pasien di atas, kebanyakan kita juga begitu. bukan main susahnya memulai olahraga apalagi mempertahankannya. Saya tidak tahu berapa persen penduduk dewasa Indonesia yang aktif berolahraga, tetapi saya rasa sangat kecil sekali. Kegiatan-kegiatan olahraga yang dilaksanakan dalam event tertentu, seperti Jakarta marathon, sepeda, jalan santai dan sebagainya hanya ramai waktu acara itu dilaksanakan, setelah itu, sepeda, sepatu. dan aseoris olahraga ilainnya lebih banyak digantung, bahkan akhirnya hanya jadi barang rongsokan. Di Negara maju saja, seperti Amerika, 60 persen penduduk dewasanya tidak melakukan olahraga secara teratur, 55 juta bahkan tidak berolahraga sama sama sekali. Sementara selama 4 jam rata-rata mereka duduk di depan televisi.
Nah, kita tahu bahwa olahraga sangat baik untuk kesehatan, kita tahu bahwa olahraga membuat jantung kita menjadi lebih bugar, kita tahu olahraga itu, otot dan tulang kita semakin kuat, kita tahu bahwa olahraga dapat menurunkan tekanan darah, kita tahu bahwa olahraga itu mencegah diabetes, mencegah cacat di hari tua, kita tahu olahraga membuat tidur lebih nyenyak, kita tahu olahraga dapat memperbaiki, memelihara otak, mood kita...... Dan, kita tahu lebih banyak lagi manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan olahraga ini......... Tetapi, "mengapa kita tetap memilih untuk tidak melakukannya?"
Banyak alasan yang bisa diberikan untuk menjawab pertanyaan di atas, seribu dalih bisa dikemukakan, mulai dari malas, capek, bosan, tidak punya peralatan, tidak ada waktu, dan sebagainya. Tetapi. yang paling penting, menurut Jeffrey R dan Betty L dalam buku Age Smart, mengapa kita tidak mengerjakannya adalah bahwa kita menganngap, berpikir olahraga itu hanya sebagai pilihan, yang boleh saja kita lakukan atau tidak. Kita beranggapan bahwa olahraga adalah sesuatu di luar kegiatan rutin harian kita. Olahraga ditempatkan di luar jurnal keseharian kita. Akibatnya, mau olahraga atau tidak, kita secara tidak sadar beranggapan bahwa itu tidak masalah, tidak ada akibat buruknya. Dan, karena anggapan itu sudah terbenam dalam otak kita, maka otak kita pun merasa sudah menjadi nyaman untuk tetap larut dalam kebiasaan seperti itu. Dan, sayang, sebagian besar kita baru sadar untuk melakukan aktifitas olahraga bila sudah sangat terlambat, biasanya ketika penyakit atau cacat sudah mendera kita, ketika olahraga itu sendiri sudah menjadi beban bagi tubuh kita. Sehubungan dengan ini, sering saya melihat beberapa pasien jalan pagi setelah stroke menyerangnya, tangan dan kakinya sudah kaku melangkah, ketika nafasnya sudah mau diajak kerja sama lagi, atau ketika lututnya sudah mulai menjerit, ikut mengeluh kesakitan. Memang, tidak ada istilah terlambat untuk memulai olahraga, tetapi sebaiknya tidak harus menunggu setelah kita mengalami kesulitan melakukannya. Mulailah sekarang pada saat kita masih dapat menikmati setiap gerak yang kita lakukan.
Oleh karena itu, anggapan bahwa olahraga itu sebagai pilihan harus dibuang. Sebaliknya jadikanlah olahraga itu sebagai bagian tidak terpisahkan dari jurnal kegiatan sehari-hari kita, sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi dalam kehidupan kita. Cattie Blacks, seorang pebisnis dunia dan Presiden Hearst Magazine, pada saat beliau berusia 60 tahun, tetapi kebanyakan orang mengira masih pantas untuk 40 tahun, ditanya, "mengapa bisa demikian?" Jawabannya adalah, "karena kebiasaan olahraga yang Ia lakukan secara teratur setiap hari". Dan, "mengapa Ia masih punya waktu untuk berolahraga di tengah-tengah kesibukannya seperti itu?", ceritanya adalah bahwa itu bermula ketika Ia merubah pikirannya tentang olahraga. Ia menghargai olahraga seperti janji-janji dan pertemuan yang harus Ia penuhi. Sama seperti pertemuan yang Ia jadwalkan, olahraga juga tercamtum dalam buku hariannya. Bahkan, kalau waktu itu adalah jadwal olahraganya, kemudian ada undangan pertemuan, Ia akan memprioritaskan olahraga dibandingkan pertemuan itu.
Dalam beberapa tahun terakhir saya juga melakukan hal yang sama. Olahraga secara teratur setiap hari paling tidak 30-40 menit. Di ruangan yang terbatas, saya bisa jogging, berlari, olahraga peregangan dan sebagainya. Boleh dikatakan tidak ada hari tanpa olahraga bagi saya. Dan, itu baru bisa saya jalani pada saat saya beranggapan bahwa olahraga itu bukan suatu pilihan tetapi suatu keharusan dalam keseharian saya. Saya buat jadwal khusus untuk olahraga. Biasanya saya berolahraga beberapa jam menjelang praktek sore dan setelah tidur siang beberapa menit sebelumnya. Alhamdulillah disamping saya tahu manfaat olahraga secara teoritis, saya juga dapat merasakan dan menikmatinya.
Seperti diketahui, lamanya olahraga yang dianjurkan, sesuai degan peneltian yang pernah dilakukan adalah minimal antara 30-40 menit, lima kali dalam seminggu, jadi, ada hari tanpa kita harus olahraga. Dan, dari waktu 30-menit olahraga itu sebenarnya bisa juga dibagi menjadi interval 10-15 menit, dua-tiga kali dilakukan dalam sehari, cukup hanya tiga kali dalam seminggu. Olahraga dengan frekwensi seperti ini memang masih memberikan manfaat yang sama. Tetapi ada sisi negatif saya lihat , memilah-milah lamanya olahraga seperti ini membuat kita sangat sulit mempertahankan kontinuitasnya. Jadi, kalau kita misalnya sudah berolahraga 10-15 menit, kita berhenti, kemudian mau melanjutkannya lagi di hari yang sama, itu tidak mudah. Begitu juga bila dalam satu minggu ada hari tanpa olahraga, comtohnya 2-3 hari tidak olahraga, biasanya hari tanpa olahrga itu akan berlanjut terus. Karena itu, tetaplah berolahraga, 30-40 menit, dan tujuh hari dalam seminggu.
Olahraga itu memang susah, tidak hanya memulainya, apalagi mempertahankannya. Namun, dengan mengubah persepsi, pikiran kita bahwa olahraga itu bukanlah pilihan, yang dapat kita kerjakan atau tidak, tidak bisa sekarang, besok atau lain waktu boleh juga, tetapi sebaliknya kita hargai sebagai kegiatan penting yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, seperti sarapan pagi kita, maka Insya Allah olahraga itu akan menjadi kebutuhan kita. Jadikanlah olahraga sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kegiatan seharian kita, agendakan olahrga itu dalam buku jurnal harian Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H